Lihat ke Halaman Asli

PKS... Sebuah Antiklimaks Politik Praktis Tanpa Figur

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://4.bp.blogspot.com/-TEvZZQ6c6T4/T_GmzF7IyPI/AAAAAAAAEbk/wrvqg8_uzTk/s1600/PKS.jpg

[caption id="" align="alignnone" width="448" caption="http://4.bp.blogspot.com/-TEvZZQ6c6T4/T_GmzF7IyPI/AAAAAAAAEbk/wrvqg8_uzTk/s1600/PKS.jpg"][/caption] Waktu menunjukkan pukul 13.45, penghitungan cepat versi berbagai lembaga survei sudah mencapai angka 30-40% dari suara yang masuk. Tidak terjadi kompetisi yang berati, sebab sejak menit awal perhitungan dimulai Jokowi sudah memimpin dengan kisaran 40-50% suara. Foke menyusul dengan 30-35% suara. Tapi yang menarik adalah, Hidayat Nur Wahid yang tak beranjak dari angka 10-11%. Mengejutkan? Bagi saya memang sedikit mengejutkan, mengingat secara statistik di atas kertas, angka tersebut sulit sekali dipercayai. Tapi perdebatan ini sesungguh nya sudah terjadi antara saya dengan teman Kuliah di jejaring Facebook sekitar 2-3 bulan lalu, jauh sebelum masa kampanye dimulai. Menurut saya(waktu itu) pilgub DKI hanya tentang pertarungan Foke vs Jokowi, sedangkan yang lain hanya 'pelengkap penderita'. Namun teman saya itu tidak sependapat, dengan memperkirakan Hidayat lah yang akan menempati posisi ke dua. Argumentasi yang digunakan adalah karena 'captive voters' (baca: suara yang sudah pasti didapat) PKS menurut pilkada 2007 berkisar 40-45%, dan 19% menurut pemilu 2009. Bagi nya, captive voters tersebut sudah merupakan jaminan suara yang pasti masuk ke pasangan Hidayat-Didik. Tapi saya tetap memegang argumentasi saya, bahwa ini hanya tentang Foke dan Jokowi. Karena sejak awal pertarungan ini dimulai (saat jokowi menentukan pilihan untuk maju sebagai Cagub DKI) perang urat syaraf sudah di mulai di media. Alasan saya sederhana, publik Indonesia adalah publik yang cenderung memperhatikan FIGUR, bukan substansi apalagi loyalitas partai, tidak terkecuali PKS. Dan ada satu hal yang dilupakan teman saya itu, bahwa prosentase yang diperoleh PKS pada 2007 dan 2009 tersebut bukan murni suara konstituen PKS, melainkan suara masyarakat umum yang simpati pada PKS. Masyarakat tersebut adalah orang-orang yang selama ini melihat track record PKS dan terpapar sosialisasi non-kampanye dari partai tersebut. Mereka memandang bahwa untuk level parlemen, PKS masih sangat layak diberikan kepercayaan. Sedangkan untuk kasus Pilgub 2007, saya menilai tinggi nya elektabilitas PKS disebabkan karena hanya ada 2 kandidat dan polarisasi peta politik di Jakarta antara pro-status quo(foke) dan pro-perubahan(Adang). Dari kondisi tersebut, dihasilkan lah 2 kubu yaitu Pro foke, dan Anti-Foke sehingga suara pemilih PKS yang berkisar 19-20% di jakarta  bisa melesat mencapai angka 40-45% pada pilkada 2007 karena banyaknya masyarakat yang memberikan dukungan pada PKS. Banyak publik yang mengira, besarnya elektabilitas 2007 tersebut patut diiperhitungkan untuk menilai bahwa Hidayat pasti bisa memperoleh suara setidaknya pada urutan ke-2 Pilgub 2012 ini. Ternyata mereka keliru. Pilgub tahun ini jelas jauh berbeda dengan 2007, dimana kandidat yang bertarung sangat banyak dan bervariasi baik karakter, latar belakang, visi, dll. Tahun ini ada 6 pasangan yang terdiri dari 4 koalisi partai, dan 2 independen. Dimana 5 pasangan bisa dikatakan memiliki misi yang sama, MENG-KUDETA FOKE. Sehingga massa yang pro perubahan serta memberi dukungan pada PKS di 2007 akan terpecah ke 5 pasangan ini. Hal tersebut menyebabkan Hidayat Nur Wahid hanya memperoleh suara dari pendukung PKS asli, ditambah sedikit masyarakat umum yang masih percaya orang jujur dan sederhana seperti beliau layak diberi kepercayaan menjabat DKI 1. Maka, angka 11% bukanlah hal yang mengejutkan. Bukan pula menggambarkanPKS sudah tidak solid dan tak militan lagi. Saya katakan massa asli PKS masih sangat solid dan militan sampai kapanpun, karena mereka bukan politikus, mereka adalah komunitas umat yang memiliki ideologi sama. Angka tersebut sebenarnya adalah kondisi riil konstituen PKS yang masih setia dengan latar belakang ideologi islam moderat. Bisa saya katakan, itulah perolehan prosentase terendah yang akan diperoleh PKS dalam event apapun di DKI jakarta di masa yang akan datang, orang jawa bilang : "Wes mentok". Pendek kata, itulah kemungkinan terburuk jika PKS sudah tidak mendapat simpati dari masyarakat jakarta lagi dan hanya memperoleh suara dari massa fanatik nya. Lalu, apa kesalahan/keliruan/kekurangan PKS dalam hal ini? Berikut analisis saya:

  1. PKS TIDAK MEMILIKI FIGUR SENTRAL. Semenjak pendirian PKS pasca Reformasi 1998, PKS adalah Partai kader yang mengedepankan kebersamaan dan anti-kultus individu. Bahkan Beberapa kali berganti 'Presiden Partai' tak satupun yang bisa memperoleh perhatian dan simpati publik. Hal ini bisa saya maklumi, sebab partai ini diisi oleh orang-orang muda yang lebh mengutamakan kaderisasi terus menerus, dan tidak fokus menciptakan seorang tokoh sentral. Seorang Presiden PKS paling mentok cuma dapat jabatan Menteri di Kabinet SBY. Jika ada orang yang membanggakan bahwa Hidayat Nur Wahid pernah menjabat Ketua MPR, dan itu merupakan sebuah jabatan tinggi dan prestisius, saya cuma tersenyum. Ketua MPR pasca reformasi bukanlah siapa-siapa, cuma simbol struktur lembaga tertinggi negara yang tidak punya kewenangan bahkan pekerjaan yang strategis. Maka dari itulah posisi tersebut tidak banyak diperebutkan partai pasca pemilu. Partai lebih suka memperebutkan jabatan ketua komisi DPR, KEtua DPR, atau anggota badan anggaran DPR, itu jelas lebih memiliki posisi tawar ekonomi dan politis yang strategis. Bahkan, era keterbukaan dan inklusifisme yang dicanangkan PKS beberapa tahun terakhir tidak bisa menciptakan kesan bahwa partai ini memang tak punya kelebihan figur sentral yang hebat.
  2. PKS ADALAH KOMUNITAS, BUKAN PARTAI POLITIK. Setidaknya, itu penilaian saya. Dengan parameter partai politik yang jamak di Indonesia, saya menilai PKS justru lebih layak disebut komunitas dakwah dan kegiatan sosial dibanding sebuah Partai Politik. PKS tidak menanamkan konsep yang jelas dalam memposisikan dirinya di dalam percaturan politik nasional. PKS hanya butuh kursi di Kabinet yang pas dengan visi misi partai nya, dan terus melakukan kaderisasi untuk menyongsong pemilu selanjutnya. Tidak ada ambisi jangka pendek yang praktis, seperti mempersiapkan calon presiden dan sebagainya yang bisa memberikan nya posisi tawar yang tinggi di kancah politik nasional. Kita tentu ingat betapa PKS seringkali terombang ambing terkena isu reshufle, itu mendandakan posisi mereka yang sangat lemah jika dibandingkan dengan Golkar dan partai lain yang konsep politik nya jauh lebih jelas dan terukur.
  3. CITRA PKS SUDAH LUNTUR. "Ah, semua partai sama saja...maling!" itu yang sering saya tangkap dari reaksi masyarakat terhadap isu-isu hukum yang sering menerpa partai politik di indonesia. Misbakhun, adalah salah satu contoh dari beberapa kader PKS yang tersangkut masalah hukum. Tentu nya ini merupakan pukulan telak bagi citra PKS yang sejak awal selalu menjual ide partai bersih dan peduli, yang bisa dijadikan jaminan bahwa seluruh kadernya bebas dari praktik haram korupsi. Akhirnya, publik menilai bahwa dalam politik tak ada yang bisa dipercaya selain UANG. ditambah lagi konflik internal yang pernah disuarakan oleh Yusuf Supendi yang mengungkap ada ketidak beresan manajemen PKS.
  4. PKS TERLALU PERCAYA DIRI. Dengan tidak ada nya tokoh sentral yang kharismatik dan memiliki kapabilitas mumpuni, sulit bagi PKS ikut dalam pertarungan politik praktis baik di level daerah maupun nasional. Mereka jelas keliru memperhitungkan kekuatan, dan salah mengartikan dukungan captive voters. Mengajukan Hidayat Nurwahid dalam pilgub DKI merupakan kesalahan kekeliruan secara politik meski secara matematis sangat bisa diterima akal, karena hanya mempertimbangkan reputasi tokoh nasional yang tidak memiliki track record pemerintahan serta kapablilitas membaca serta menyelesaikan segudang permasalahan jakarta. Hidayat Nur Wahid jelas kalah telak jika diadu dengan Jokowi yang sudah terlanjur memperoleh simpati dan dipuja-puja masyarakat atas prestasi nya di Solo. Bahkan pada saat debat Cagub DKI, jawaban-jawaban yang dilontarkan Hidayat menurut saya masih sangat normatif dan klise. Itu menunjukkan bahwa Hidayat tidak siap menyelesaikan masalah Jakarta, dan publik bisa menilai itu dengan cerdas.

Dalam politik praktis, PKS tidak akan mampu berbuat banyak untuk masa-masa yang akan datang jika masih konsisten dengan cara seperti ini. Partai Ideologi semacam ini tidak akan banyak mendapat simpati dari publik tanpa adanya terobosan dan seorang figur sentral yang 'super'. PKS cuma selalu akan menjadi partai ekslusif, partai dakwah, partai mediocre yang cuma bisa jadi penonton dan pengikut koalisi partai besar lain nya. Sanggau, 12 Juni 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline