Sebelum membahas masalah korupsi di Negara kita secara luas, saya baru-baru ini membaca pada suatu artikel di medsos bahwa pada tahun 2018 Negara kita tercinta Indonesia menduduki peringkat ke 89 sebagai Negara korup didunia, dan peringkat ke-4 terkorup se ASEAN.
Tampaknya sampai saat ini korupsi masih menjadi sebuah perkerjaan sampingan paling favorit, Kenapa?
Karena pendapatan tak terbatas, serta resikonya pun bisa dinego. Kan, hukumannya bisa dibahas sambil kongkow-kongkow, nongkrong minum kopi antara tersangka dengan penegak hukum.
Mungkin beberapa akan beranggapan peringkat 89 itu masih biasa aja, karena masih banyak sekali Negara yang peringkat korupsinya diatas Negara Indonesia, tapi lupakanlah sejenak. Indonesia bukanlah Negara yang anggarannya bisa dieksploitasi seenaknya saja, Indonesia juga bukan Negara yang berperekonommian kuat seperti di Eropa, Uni Emirates Arab, Amerika, ataupun China.
Indonesia itu kaya Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusianya, tapi entah kekayaan itu terkumpul dimana. Ada lagi yang lebih ironi, seperti di tempat tinggal penulis yaitu saya yang menjadi salah satu kota termaksur akan tetapi kemakmuran tersebut belum merata dan masih berketimpangan sosial, yang kaya makin kaya tapi yang miskin makin miskin itu pendapat saya untuk tatanan tempat tinggal saya.
Akhir-akhir ini Presiden Joko Widodo ditantang untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor, menurut saya apakah mungkin terjadi pernyataan tersebut akan dilaksanakan setelah banyaknya kelonggaran yang didapatkan oleh tahanan KPK di lapas SukaMiskin, kurungan seperti itu sama saja seperti menangkap ikan emas disungai kemudian memasukan kembali ke kolam yang mewah dan diberi makan setiap hari.
Jadi menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo utnuk menghukum mati koruptor itu seperti omongan belaka/fiktif yang dikatakan anak-anak.
Jika saya menilai dari angka 1-10, saya akan menilai 7,5 karena kita harus tahu betul bahwa memberantas korupsi bukanlah seperti membalikkan telapak tangan serta mempunyai resiko yang tidak main-main, setelah melihat kasus novel baswedan, saya percaya bahwa nyawa adalah taruhan dalam menghadapi hama-hama dibalik birokrasi.
Selain itu, ada perbandingan hukuman yang sangat tidak memiliki rasa belas kasih. Yaitu kasus Setya Novanto dan kasus seorang nenek yang mencuri kayu, Setya Novanto melakukan korupsi yang merugikan Negara sejumlah Rp 2,3 Triliun dari proyek e-Ktp.
Setya Novanto dihukum 15 tahun, denda 500jt, dicabut hak politik 5 tahun namun dipenjara pun Setya Novanto tetap mendapat pelayanan khusus dari sipir-sipir yang dapat disetarakan dengan hotel bintang 5.
Berpindah ke kasus Seorang Nenek yang mencuri kayu, kasus ini menimpa nenek Asyani. Nenek Asyani didakwa mencuri 38 papan kayu jati dari kawasn hutan produksi pada tanggal 7 juli 2014. Padahal Nenek Asyani merasa pohon bakal kayu tersebut ditanam oleh suaminya yang telah wafat pada tahun 2006 silam. Akibat tindakannya tersebut, ia dijatuhi vonis 1 tahun penjara.