[caption caption="Sumber : swide.com (via : harnas.co)"][/caption]
Hari ini, 9 Februari 2016 diperingati sebagai hari pers nasional (HPN) meskipun muncul berbagai polemik tentang hari peringatan dan lahirnya sebuah organisasi pers. Walaupun juga tidak jelas siapa yang berhak merayakan hari pers nasional dan menerima ucapan “selamat hari pers nasional”, akan tetapi tak menjadi suatu masalah.
Pers mempunyai peran penting dalam penegakan demokrasi Indonesia. JIka kita menengok ke belakang, tepatnya pada era orde lama hingga orde baru, pers bisa dibilang divonis mandul ataupun diaborsi oleh pemerintah. Siapa yang berani mengkritik pemerintah, kamar hotel gratis lengkap makan dan minum dalam jeruji besi siap dihuni olehnya.
Pers pada hakekatnya tidak hanya terpatok pada media cetak, dalam arti luas pers diartikan apapun itu yang memberikan berbagai informasi hingga hiburan kepada masyarakat. Itu menurut opini saya sendiri, jadi jangan salahkan jika terdapat kekeliruan baik dalam perkataan maupun perbuatan. Pisss…
Bicara tentang perkembangan pers dari jaman baheula hingga jaman bahelul seperti sekarang, tentu pers telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Syukurlah atas berkat Rahmat Tuhan YME, pers tidak lagi mandul. Pers sekarang telah subur dan makmur. Berbagai kelompok pun saling berlomba-lomba berusaha ikut serta mengembangkan pers Indonesia. Keadaan yang sangat beda jauh dengan era kepemimpinan presiden ber-istrikan sembilan dan kepemimpinan seorang jenderal.
Akan tetapi, subur dan makmurnya pers bukan berarti menjadi suatu hal yang selalu bagus dan sangat membanggakan. Tentu saja terdapat akibat positif dan negatif dari pers nasional yang berkembang sangat makmur di negeri yang terdapat para penghancur.
Tak bisa dipungkiri bahwa tujuan pers adalah money oriented, kecuali saaat masa penjajahan dan orla-orba, yang saat itu pers memang menjadi kunci penting dalam upaya kemerdekaan Indonesia dan satu-satunya jalan menegakkan demokrasi yang benar-benar murni tanpa campur tangan penguasa. Sebut saja Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Soe Hok Gie, Widji Thukul dkk yang atas karena tulisan-tulisannya yang dimuat oleh pers, masyarakat dalam menyuarakan pendapat dengan bebas merdeka “tanpa datang ancaman maupun malapetaka dari penguasa” seperti sekarang.
Sangat berbeda 180o dengan saat sekarang yangmana pers hanyalah mesin pencari uang. Tapi tak menjadi masalah jika tulisan-tulisan yang diberitakan memang bermanfaat bagi masyarakat dan tidak terdapat campur tangan pemerintah. Intinya bekerja dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat !
Pers jadi Peres
Di-era yang serba canggih dan teknologi yang sangat millennium saat ini, pers memang menjadi pembentuk opini rakyat. Atau bahkan beberapa lembaga pers memang bertujuan untuk membentuk opini rakyat. Lah ! Teknologi yang sangat canggih memang dapat menyebarkan tulisan-tulisan yang dihasilkan dari pers dalam hitungan detik. Kecanggihan teknologi inilah yang disalahgunakan oleh berbagai lembaga pers.
Tak heran jika pers seakan-akan menjadi peres. Pembentukan opini rakyat dilakukan melalui berbagai berita-berita yang berisi fitnah, fitness, amalan seseorang, hingga aib dan borok orang yang bersebrangan dengan lembaga pers tersebut.