Lihat ke Halaman Asli

Warisan Budaya "Politik Uang"

Diperbarui: 6 Desember 2015   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi : Lensa Indonesia"][/caption]

Bicara soal pemilu, tak lengkap rasanya jika tidak dibubuhi soal politik uang. Politik uang telah menjadi pusat dari segala politik yang ada, mulai dari politik daerah, hingga politik nasional. Politik uang merupakan suatu budaya di Indonesia, entah dimulai dari mana, yang telah mendarah daging dalam masyarakat. Khususnya, masyarakat yang notabene belum modern atau masih berpikir tradisional. Seperti dalam masyarakat pedesaan, pilkades misalnya, pasti sudah menjadi tradisi bahwa yang banyak duit itu pasti menang (walaupun gak semua sih). Kalau seperti ini, bisa dibilang pemilu bukan merupakan wujud demokrasi, akan tetapi ajang banyak-banyakan sedekah antar calon. Tak hanya di masyarakat pedesaan, masyarakat perkotaan pun sama saja, politik uang telah menjadi budaya.

Saya sendiri hidup dalam masyarakat yang tidak bisa dibilang pedesaan, juga tidak bisa dibilang perkotaan, tapi sebagian masyarakat di sekitar saya telah mempunyai pola pikir modern. Seperti saat saya SMA dulu, saya hanya sebagai penonton pemilu saat itu. Ya, seperti biasa, politik uang bahkan serangan fajar telah menjadi sebuah kebiasaan. Saat itu saya ingat bahwa ada dua calon pemimpin di tempat tinggal saya, yang sama-sama beradu amplop ajaib, dan keluarga saya pun menerima rata dari keduanya. Tapi entah saya tidak tahu pilihan anggota keluarga saya, yang saya tahu hanyalah ada sebuah ajang banyak-banyakan sedekah.

Saat itu, saya juga mendengar bahwa ada tetangga yang mendapat uang lebih dari setengah juta rupiah dari kedua calon pemimpin saat itu. Jumlah ini sangat fantastis menurut saya, yang pada saat itu harga-harga berbagai barang kebutuhan tak semahal sekarang. Saya juga yakin bahwa fenomena amplop ajaib seperti ini juga ditemukan di daerah lain, bahkan mungkin telah merata dalam Indonesia. Bicara soal politik uang, saya teringat Guru saya yang berbagi cerita bahwa beliau bisa dibilang dibenci tetangganya gara-gara tidak mau menerima amplop ajaib, beliau malahan mengembalikan dan mencaci-maki orang yang memberi amplop tersebut. Tentu ini menjadi sebuah pelajaran bagi hidup saya untuk menghilangkan budaya “goblog” itu.

Pemilu yang baik tentunya adalah yang terbebas dari permainan politik uang dan berlandaskan asas “Luberjurdil”. Saya rasa, pemilu langsung oleh rakyat yang telah terjadi di Indonesia masih sangat jauh mengedepankan asas-asas tersebut. Dan juga bawaslu maupun pengawas lainnya pasti sudah tahu dan paham bahwa politik uang telah membudaya, tapi entah kenapa belum ada tindakan yang jelas dan tegas dari badan pengawas.

Bicara soal pilkada serentak tanggal 9 Desember tahun ini, saya rasa politik uang tetap menjadi tradisi di masyarakat kita. Saya pun memprediksi bahwa amplop ajaib ini berisi uang yang tidak sedikit jumlahnya, sebab ini adalah pemilihan kepala daerah yang konteks pemilihannya hanya meliputi daerah-daerah tertentu saja, khususnya untukpemilihan bupati dan walikota.  Mungkin, bahkan saat ini telah beredar beberapa amplop ajaib dalam masyarakat, saya pun tidak tahu.

Menerima, amplop ajaib tentu bukan sebuah larangan, akan tetapi ini adalah sebuah hak pemilih, sepertinya. Tapi ingat, adanya amplop ataupun uang dari para calon belum tentu mencerminkan pemimpin yang baik dan tepat untuk dipilih.  Jika pun menerima amplop ajaib, jangan asal pilih, pikirkan dengan seksama terlebih dahulu bibit, bebet dan bobotnya. Jikalau kita menerima uangnya dan tidak memilih orangnya, itu bukan menjadi suatu masalah, This is Sparta ! Semisal juga ada lebih dari 1 calon yang memberi amplop ajaib, karena kebaikan mereka, kita ya berhak untuk memilih rata semuanya dalam satu surat suara. Lha kan mereka memberi sedekah semua, berarti mereka semua baik kepada kita, ya kita harus balas jasa dong. Jadilah pemilih yang cerdas ! Hehehe
Salam !

NKRI, 5 November 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline