Lihat ke Halaman Asli

Penghargaan Vs Kesempurnaan

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp


Respect, sometimes, more important than  being perfect.

Suatu pagi , satu menit setelah saya bernegosiasi dengan salah satu rekan bisnis soal piutang yang belum terbayar-bayar, seorang teman mengirim pesan via BBM,

”Mas, bagaimana caranya menagih piutang yang macet? Aku pusing, Mas!”

Saya menghadapi momen ini dengan kondisi yang agak geli-geli lucu.

Bukan pertanyaannya, tapi momennya. Dalam keadaan yang sama sumber pusingnya,

ada teman yang bertanya bagaimana cara mengatasi kepusingan itu. Di saat yang sama pula.

Orang bertanya tentang bagaimana mengatasi piutangnya yang tak terbayar-bayar. Di waktu yang sama, urusan negosiasi pembayaran atas hak pekerjaan saya juga sedang rumit-rumitnya. Ini untuk yang kesekian kalinya saya mempertanyakan pembayaran. Sudah sangat lama. Dan belum juga ada kepastian. Dari jumlah maupun tingkat kerumitan yang saya hadapi juga tampaknya jauh lebih besar dari teman yang sedang bertanya.

Di tengah konflik yang tidak atau belum berhasil saya atasi, tanpa diduga saya mendapatkan pertanyaan tentang masalah yang juga sedang saya alami.

Ini seperti orang yang sedang patah hatinya ketika baru putus cinta,  lalu tiba-tiba ada yang bertanya padanya: aku lagi sedih, tolong bantu aku bagaimana mengatasi patah hati akibat putus cinta?

Bisa jawab apa orang yang sedang patah hatinya saat ditanya persoalan yang sama?

Bagaimana pula saya bisa objektif memberikan jawaban pada persoalan yang saya sendiri tidak, atau belum mampu menyelesaikannya.

Tapi, dalam kepusingan itu, akhirnya saya menjawab juga. Dengan sebaik-baik jawaban yang menurut ukuran saya pada akhirnya bisa melegakan dia. Saat itu saya berpikir, temanyang bertanya itu pasti punya ratusan teman. Puluhan temannya itu bisa saja punya jawaban yang lebih baik dari saya.

Tapi, pagi itu,  dia menanyakan persoalannya dengan meminta pendapat saya. Pada seseorang yang menyandarkan kepercayaan jawabannya pada kita, rasanya kok kita tak patut hanya berpasrah dengan, misalnya, menjawab:  “Kok kamu tanya sama aku, aku sendiri juga lagi pusing!”

Dari situ, saya belajar bagaimana menempatkan diri, belajar bagaimana seharusnya menghargai upaya seseorang – tanpa orang itu perlu tahu bahwa jawaban itu sedang saya lontarkan dalam kondisi kepusingan dan kerumitan yang sama.

Kadang, dalam hidup, orang butuh sekadar penghargaan ketimbang kesempurnaan.

https://assets.kompasiana.com/statics/files/14258889731167720899.jpg

Rabu, 25 Juni 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline