Guna menjalin sinergitas merawat tradisi intelektual. Semalam, Sabtu (9/11/2019), Kami bisa belajar bersama dengan komunitas pegiat literasi di Kab. Tolitoli. Setidaknya,ada beberapa catatan pengantar untuk berdiskusi berkaitan dengan urgensi berfilsafat ditengah era digital. Era yang menandai semakin intensnya manusia berinteraksi dengan informasi dan teknologi. Dulu, filsafat menyoal hidup dan matinya manusia. Ketika kehidupan diselimuti kabut misteri. Hal itu tak diimbangi dengan dahaga manusia untuk mangakses pengetahuan. Manusia seketika lahir ke dunia, tidak serta merta memahami esensi penciptaannya. Ditambah dengan kompleksnya problematika manusia dari masa ke masa.
Segenap pertanyaan krusial sering kita hadapi. Siapakah manusia ? siapakah aku ? mau kemana hidupku ini ? apa itu Tuhan ? apakah kebenaran itu ada ? apa itu keindahan ?. Bagaimana di era digital saat ini, apakah dengan melimpahnya informasi manusia masih butuh dengan filsafat ?, ataukah era filsafat menjumpai kematiannya ?. Seperti apa urgensi filsafat di kehidupan kita ?.
Lazimnya, filsafat dipahami sebagai cinta terhadap kebijaksanaan. Sesederhana itu kah filsafat ? apa itu cinta ? apa itu kebijaksanaan ?. Semalam , kita mendudukkan bahwa filsafat sebagai refleksi kritis terhadap segala sesuatu yang ada secara radikal. Selama kita mendayagunakan nalar kita, sejatinya itulah filsafat. Lebih jauh berfilsafat adalah cara hidup manusia untuk terus mengevaluasi kehidupannya secara krititis sesuai dengan visi penciptaannya.
Era digital tak serta merta dibuat mudah manusia menjumpai jati dirinya. Semestinya, dengan melimpah ruahnya informasi kita semakin mudah mengatasi persoalan hidup kita. Namun, kontras dengan realitas yang ada. Mengapa semakin banyaknya informasi manusia justru dibuat sibuk dengan berita bohong ( Hoax) ? . Mengapa di era teknologi yang justru ingin melayani manusia.
Malah manusia justru melawan arah, seakan menyembah teknologi atau hidup dalam dominasi teknologi ?. Apakah manusia telah mengalami defisit akal sehat ?. Tak ada jaminan bahwa banyaknya pengetahuan, menjamin manusia semakin bermoral ?. Lihat saja laku para pejabat elit yang koruptor yang memiliki tingkat wawasan yang tinggi. Banyak lagi kasus-kasus irasional yang semestinya tak dipraktekkan oleh mahkluk yang katanya rasional.
Sejauh pembahasan semalam, filsafat membuka ruang probabilitias dengan potensi jiwa yang nirbatas. Sebagaimana konstruksi gagasan tak terlepas dari konstruksi filosofis yang dibangun oleh manusia. Tak heran, mengapa ada yang beranggapan bahwa pikiran sesorang adalah cerminan dari personalitasnya. Sebagaimana dasar tindakan dibangun berdasarkan ide yang kita yakini. Selanjutnya dengan filsafat, ketajaman nalar terus teruji. Selama daya nalar menguji segenap pahaman yang berkembang di masyarakat. Artinya, dengan kapasitas nalar yang ada. kita bisa mengukur nilai pahaman yang berkembang sehingga kita terhindar dari praktik pembodohan.
Secara fundamental, filsafat masih sedemikian urgen memperdalam serta memperluas jagad gagasan. Sehingga kita produktif untuk menghasilkan pengetahuan baru. Hal ini mempertegas kecenderungan filsafat yang hanya terbawa di pusaran formalitas yang mempersoalkan kata-kata atau konsep. Termasuk hanya mengakses wilayah historis.
Jadi, selama manusia eksis, begitulah filsafat menjadi sandaran untuk hidup dalam ruang keseharian kita. Diperparah benturan ideologis yang berkembang saat ini, memicu lahirnya gesekan sosial yang berbasis SARA. Olehnya, filsafat bukan sesuatu yang jauh dari kehidupan manusia melainkan bagian dan sebuah keniscayaan yang terus eksis sepanjang peradaban manusia. Sebagaimana kita menolak filsafat yakni dengan berfilsafat pula. Semoga dengan berfilsafat kualitas hidup kita menjadi lebih baik.
Wallahu A'lam Bi Shawwab...
Oleh : Him Ran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H