Aku ingin seorang anak lelaki yang bebas
Aku ingin anak lelaki yang bebas melakukan keinginannya
Aku ingin anak lelaki yang bebas bercita-cita
Aku ingin anak lelaki milikku sendiri
Tanganku sibuk membolak-balik halaman buku bersampul putih bergambar seorang anak kecil yang sedang duduk, berjudul "Toto Chan". Sejak aku membelinya, entah sudah berapa kali aku membaca ulang buku itu. Lucunya, semakin sering membaca buku itu, aku semakin menginginkan seorang anak, anak lelaki. Entah dari mana ide itu datang, tiba-tiba sudah hinggap di kepalaku.
Buku itu bercerita tentang petualangan dan keseharian si tokoh utama, seorang anak perempuan berusia sekolah dasar. Namun demikian, aku justru terinspirasi untuk mempunyai seorang anak lelaki. Aku begitu ingin anak lelaki impianku itu dapat mengalami hal yang lebih kurang sama dengan tokoh utama dalam buku itu.
“Tapi aku tidak ingin menikah. Yah… paling tidak untuk saat ini…,” gumamku kecil saat pertama aku memimpikan seorang anak lelaki. “Bagaimana mendapatkan seorang anak kalau tidak menikah…?” tanyaku pada diri sendiri. “Hm… memiliki anak tanpa menikah… Adopsi! Ya, lebih baik aku mengadopsi seorang anak. Aku tidak perlu terjebak dalam keribetan menikah, tidak perlu melahirkan, tidak perlu ngidam, dan tidak perlu menjadi wanita gembrot! Tapi aku tetap dapat memiliki seorang anak!” pekikku gembira.
Lalu aku cepat-cepat mengambil kertas buram dan menggambarkan sketsa wajah seorang anak lelaki usia balita. “Hm… dia harus gemuk, putih, dengan pipi tembem dan mata besar. Rambutnya? Hm… keriting pasti lebih imut! Bibirnya tipis dan bulu matanya lentik…,” gumamku pelan sambil meneruskan sketsa ‘anak idamanku’ itu. “Namanya? Mmm…. Namanya Kevin!” ucapku setengah berteriak setelah sketsa itu selesai.
Setelah itu, aku memandangi sketsa calon ‘Kevin kecilku’ ku itu dan terkagum-kagum dengan dengan ideku "menggambarkan" wajah calon anakku. “Wah…, matanya mirip denganku…,” kataku di hadapan gambar itu, sebelum cepat-cepat menyelipkannya di dalam buku sketsaku. Sewaktu kecil, seorang sepupu pernah menghadiahi sebuah boneka beruang berbaju badut. Aku sangat menyayangi boneka beruang yang kunamai Kevin itu. Kenanganku akan kelucuan boneka itu membuatku ingin memberi nama yang sama pada anakku kelak.
Mungkin teman-temanku akan berpikir aku sudah gila. Setelah membaca sebuah buku, terinspirasi untuk mempunyai anak lelaki, berpikir untuk mengadopsi seorang anak, bahkan sampai menggambarkan sketsa wajah anak itu. Karena alasan itu memang terdengar gila, maka aku memutuskan untuk tidak menceritakannya pada teman-temanku.
Beberapa di antara mereka sedang sibuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan pria sesuai kriteria ideal. Beberapa yang sudah berpacaran dengan orang yang menurut mereka “the one”, sibuk mempertahankan pacarnya. Lainnya sedang sibuk menyelesaikan skripsi dan sesekali tergelitik juga untuk membicarakan kriteria pria ideal. Dibanding mereka semua, nampaknya aku selangkah lebih maju. Aku tidak memikirkan pernikahan, aku tidak membayangkan seorang suami, tapi aku sudah memikirkan bagaimana rupa anakku kelak.
“Dre, bagaimana kriteria lelaki idamanmu?” tanya salah seorang temanku, Asti.
Sambil membayangkan wajah Kevin kecilku aku menjawab, “Seiman, ganteng, tinggi, kaya, pinter, setia, nggak banyak bacot dan punya mobil Jaguar!”
Asti memandangiku dengan pandangan aneh dan berkata lagi, “Maksudku, paling tidak yang sedikit rasional, sayang... Semua kriteria itu memang diinginkan semua perempuan. Yah… yang lebih down to earth-lah. Kita memang masih 22 tahun, tapi pasti kita juga lebih rasional ketimbang sewaktu SMU dan masih ngincer salah satu anggota Backstreet Boys.”
Aku nyengir kuda dan menjawab,”Yah, kriteriaku cuma itu. Tidak lebih, dan tidak kurang!”