Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Ramadhan: Meretas Jiwa Berbagi Rasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Written By Redaksi Radar Indonesia on Monday, July 29, 2013 | 9:06 PM

Achmad Yana, Ketua Umum Forum Peduli Masyarakat Jakarta (FPMJ) Ramadlan adalah rumah edukasi bagi nilai dan kejiwaan manusia. Bagai sebuah universitas dengan sebuah fakultas tunggal yang menitik beratkan pada bidang psikologi. Ramadlan juga dapat dianalogikan sebagai kurikulum terpadu yang mengintegrasikan kekuatan moral dengan rasa empati yang tinggi. Ramadlan pada hakikatnya merupakan wadah peleburan (melting-spot) bagi umat islam menghaluskan nilai-nilai kemanusiaannya yang terkadang masih diselimuti mental hewaniah yang liar dan egois. Melalui pembakaran dan peleburan di tungku Ramadlan ini diharapkan lahir sebuah personalitas baru yang mampu meretas jiwa yang kosong menjadi jiwa penuh moral dan empati. Ramadlan adalah konsep paling jitu dan methode paling praktis bagi manusia untuk menanamkan jiwa kepedulian terhadap sesama. Dengan keharusan mengosongkan perut dari makan dan minum, Ramadlan melatih pribadi muslim untuk memikirkan secara aktif jalan keluar bagi masyarakat baik di dalam konteks jamaa muslim atau manusia secara universal yang dalam kondisi tertentu mengalami pasang surut kehidupan. Sebagai universitas, Ramadlan menghendaki lahirnya sebuah gerakan pribadi seorang muslim menata kehidupan sosial dan ekonomi umat lebih baik ke depan. Bukan pribadi yang justeru terpengaruh dan terpedaya oleh gaya hidup hedonis dan materialistis yang begitu nampak dalam keseharian. Ramadlan yang kita jalani semestinya menjadi tools yang mampu membentuk karakter baru sebagai manusia muslim yang berbeda dari pribadi sebelumnya. Pengalaman berinteraksi dengan Ramadlan yang berulang-ulang merupakan capaian prestasi tersendiri bagi umat Islam dalam hal pembangunan dan rekondisi moral yang lemah sebelumnya. Inilah yang menjadi tujuan Ramadlan. Namun berulang kali Ramadlan tiba, capaian sebagai pribadi taqwa seakan tidak pernah terwujud. Ini tampak jelas dalam kehidupan muslim itu sendiri. Tidak sedikit kita temukan (baca: termasuk diri kita) bahwa pelaksanaan ibadah Ramadlan hanya sebagai seremonial yang masih jauh dari tujuan. Dalam konteks sosial, pelaksanaan Ramadlan belum membuktikan hasil dan dampak signifikan terhadap kehidupan muslim. Begitupun dalam konteks ekonomi. Ramadlan yang sejatinya menjadi agen perubahan bagi umat Islam tidak berdampak dalam kehidupan muslim baik pada level personal maupun komunal. Lalu timbul pertanyaan, mengapa? Interaksi umat islam dengan Ramadlan tak lebih sebagai kegiatan seremonial belaka tanpa dibarengi kesungguhan untuk memahami dan meretas jalan perubahan. Pelaksanaan Ramadlan dengan konsepnya yang sangat strategis itu belum dijadikan sebagai momentum bagi perubahan moral. Proses yang berlangsung dalam momen Ramadlan lebih dilihat sebagai tradisi kultural. Oleh karena itulah Ramadlan tidak menyisakan apa-apa dalam hidup dan kehidupan muslim. Semua berjalan seperti sedia kala meski ribuan kali Ramadlan tiba. Kepedulian hanya menjadi mimpi. Empati hanya sebatas kata. Persatuan dan kesatuan umat tetap dalam bingkai angan yang jauh dari kenyataan. Baca juga Forum Peduli Masyarakat Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline