Bayangkan di dalam sebuah hutan ada koloni hewan, mereka dipimpin oleh seekor harimau tua. Giginya hampir tidak ada, hanya tinggal menyisakan kharisma dan kenangan akan kepemimpinannya. Suatu hari harimau itu pergi meninggalkan koloni hewan itu, menanggalkan jabatannya sebagai raja hutan. Lalu apa yang terjadi dengan koloni hewan ini? Ya benar, akan ada persaingan dari para hewan untuk naik tahta menjadi raja hutan.
Para kera yang terbiasa hidup berkoloni, ular berbisa, gerombolan rusa yang selalu jadi santapan harimau, sampai kelabang atau bahkan semut pun berebut tahta. Kekacauan akan terjadi, bisa saja mereka saling bunuh demi membuktikan siapa yang terkuat. Akhirnya hutan menjadi rusak, pohon bertumbangan, daun berguguran. Hutan itu tak lagi layak menjadi habitat hidup para hewan.
Begitulah gambaran yang terjadi pada partai PDIP, partai besar di Indonesia jika sang raja turun tahta dari jabatannya sebagai ketua umum. Seperti kita ketahui bersama, Megawati Soekarnoputri adalah Ketua Umum PDIP. Tidak tanggung-tanggung, ia sudah menampuk jabatan selama 29 tahun, sejak tahun 1993 sampai hari ini. Bertambah 31 tahun jika menggenapi tahun 2024 kelak.
Belum ada tokoh yang sepadan menggantikan posisi Megawati Soekarnoputri sampai saat ini. Banyak hal tentu dipertimbangkan oleh partai banteng ini.
Simbol Pendiri Bangsa
Pertama adalah Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai simbol pendiri bangsa, ayah kandungnya, presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Jika Megawati turun tahta dan tampuk kepemimpinan diberikan pada yang bukan trah Soekarno, maka simbol PDIP sebagai suksesor PNI Soekarno akan lenyap secara perlahan.
Jangan bicara soal nilai Marhaenisme yang selama ini menjadi jargon. Penerapan nilai itu jauh dari PDIP yang elitis sejak Jokowi menjadi presiden. Nilai atau ideologi ini pun akan ditinggalkan seiring semangat berkuasa lebih besar daripada semangat memberdayakan rakyat.
Simbol Reformasi
Hal kedua, posisi Megawati Soekarnoputri begitu kuat karena perjalanan sejarah. Keberadaan Megawati Soekarnoputri tidak bisa dihindarkan ketika kita mengingat simbol perlawanan di era reformasi. Megawati Soekarnoputri saat itu dianggap sebagai figur yang teraniaya, kasus 27 Juli misalnya saat terjadi penyerangan kantor PDIP saat terjadi dualisme dengan Soerjadi Soedirja.
Bukti lain adalah, keberadaan ktifis-aktifis yang saat itu menumbangkan rezim seperti Budiman Sudjatmiko tokoh PRD dan Adian Napitupulu tokoh Forkot di dalam PDIP sekarang. Maka seiring waktu ketika Megawati Soekarnoputri menanggalkan jabatannya, aktifis-aktifis ini juga akan mewarnai dinamika politik internal PDIP.
Selama ini, selama masih ada Megawati Soekarnoputri, mereka agaknya segan untuk bergerak. Apalagi jika tidak sesuai dengan kehendak partai, jiwa politik para aktifis ini akan meronta, tetapi berhasil diredam oleh simbol reformasi tadi, Megawati Soekarnoputri. Bayangkan jika mereka tidak ada yang mengendalikan, bukankah akan menjadi mungkin muncul gerakan PDIP Reformasi?