Lihat ke Halaman Asli

rachmi ayu

Full Time Mother, Freelance Writer

Rasa Medan yang Hampir Pudar

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Sebuah warung kaki lima lontong malam di Jl Bhakti, Medan, ramai dijejali konsumen. Para pemburu kuliner malam ini rela mengantre demi mencicipi sajian lontong dan nasi gurih yang jadi andalan warung dadakan yang berdiri di muka jajaran pertokoan ini.

Rasa lontong malam itu pun ternyata tak mengecewakan. Banyak pengunjung antre, sang penjual pun tak bisa duduk santai sekejap. Warung seperti ini tak berdiri sendiri, sepanjang Jl Bhakti, yang terletak tak jauh dari Jl Halat dan Pasar Sukaramai para pemburu kuliner malam bisa mencari cita rasa lontong malam yang paling enak.

Para pengusaha lontong malam biasa buka lapak antara pukul 20.00 sampai 21.00. Semakin larut justru semakin ramai pengunjung. Lontong malam memang khas, meski tak beda jauh dari lontong Medan yang dijual pagi hari, stelling atau gerobak penjual lontong malam biasanya menyediakan berbagai lauk pauk dan penganan lainnya. Ada rendang, semur, ikan sambal, ati ampela, dendeng, hingga risol, sate kerang, bakwan, sampai keripik singkong dan kacang goreng. Ada juga yang menyediakan menu lain seperti soto Medan dan nasi gurih.

Kisah lontong malam selalu menarik bagi para pendatang di Medan, seperti penulis. Tak hanya rasa yang khas dari lontong Medan, tapi juga sensasi makan dan hang out yang tak banyak dirasa di kota-kota lain, karena biasanya orang justru menikmati sajian ini lewat tengah malam.

Dan ya, suasana seperti ini hampir selalu dinikmati turis dan pendatang di Kota Medan. Sayangnya, dunia kuliner Medan kini tenggelam di antara kafe-kafe dan restoran dengan menu makanan yang semakin jarang memunculkan cita rasa khas Kota Medan.

Pertumbuhan kafe dan restoran ini tak ayal menimbulkan tren hang out kaum urban kota besar, yang sebenarnya tak berbeda jauh dari gaya yang dianut kota-kota besar lainnya seperti Jakarta dan Bandung. Dan kini, bagi turis dan pendatang, nongkrong di kawasan kafe dan restoran seperti di Merdeka Walk atau Jl Dr Mansyur tak lebih menarik dari berbagai tempat tongkrongan di kota lain.

Dan yang lebih memiriskan sebagian warga Medanlebih memilih kafe-kafe urban ini, ketimbang kembali ke selera asal seperti lontong malam itu. Akhirnya, saat penulis datang pertama kali ke Medan, tempat makan yang direkomendasikan pertama kali adalah kafe A atau restoran B, yang merupakan tongkrongan kaum urban.

Jujur saja, sebagai pendatang, penulis begitu ingin mencicipi berbagai penganan khas Kota Medan yang kebanyakan malah penulis dengar dari mulut ke mulut. Selain soto , lontong, dan nasi gurihnya, Medan konon terkenal dengan bubur pedas, anyang, mie sop dan mie gomak (sebagian menu makanan tersebut memang bukan asli dari Medan, tapi biasa dijumpai di Medan).

Ini belum terhitung dengan berbagai penganan khas etnis-etnis yang menghuni kota multikultur ini, seperti martabak dan mie rebus ala Kampung Madras, mie ayam jamur khas restoran Tiongkok, pecal hasil ulekan orang Jawa Deli, atau bumbu rempah khas Mie Aceh.

Ke mana ciri khas Medan yang begitu dibanggakan? Mereka tersudutkan di pelosokdan pinggir jalan yang luput dari pandangan. Referensi makanan khas Medan memang ada, meski tak jarang memunculkan nama-nama pengusaha makanan yang selalu sama dan itu-itu saja. Sebut saja, orang luar Medan mengenal durian hanya di Durian Ucok, atau bika Ambon hanya milik gerai Zulaika. Kedua brand yang sukses dan besar ini memang terkenal dengan kelezatan dan keunggulan produknya.

Tapi bukan berarti produk serupa yang lain kalah enaknya. Banyak penjual durian lain yang memiliki produk yang sama legitnya dengan Durian Ucok. Dan cita rasa bika Ambon pun kini semakin beragam, kini sudah ada pengusaha yang berani berinovasi membuat bika Ambon dari singkong yang tak kalah pula lezatnya. Hanya saja nama mereka tak terdengar, tak muncul dalam arena promosi wisata kota terbesar ketiga di Indonesia ini.Atau tak diperhatikan para penguasa Medan?

Permasalahan kuliner Medan tak berhenti sampai di situ. Kalau Anda mencari kata “kuliner Medan” lewat search engine di internet, sebagian besar masyarakat akan memuji Medan sebagai gudangnya kuliner yang menggoyang lidah. Tapi Anda juga harus bersiap kecewa saat datang langsung ke Medan. Terutama bila Anda sudah merasakan nikmatnya berburu makanan di Bandung dan Jogjakarta.

Daftar makanan di Medan nampaknya tak sesemarak di kedua kota besar itu. Jika menyebut kawasan kuliner Dago di Bandung, beragam penganan siap menggoyangkan lidah, mulai dari menu yang tradisional sampai internasional, dari nasi timbel, roti bakar, batagor, bubur ayam, hingga steak, yang sebagian besar memang hanya akan Anda temui di Bandung.

Kembali ke Medan, di kawasan Sekolah Harapan, Medan juga menawarkan berbagai cita rasa, tapi sayangnya dari satu warung ke warung lain menunya sama, hanya seputar aneka olahan mie instan, serta beberapa penganan gerobak malam seperti sate Padang, nasi goreng, dan pecal ayam.

Memang secara keseluruhan Dago dan kawasan Sekolah Harapan tak bisa dibandingkan, karena Dago bukan hanya menjadi pusat kuliner, namun sudah menjadi sentra bisnis pariwisata yang berkembang, dengan adanya plaza, factory outlet, dan berbagai tempat yang menjadi pusat kegiatan budaya dan kesenian.Namun jika menggarisbawahi kata “pusat kuliner” saja, jelas kawasan sekolah Harapan tertinggal jauh (lepas dari konflik area lahan antara pengusaha dan pemerintah Kota Medan).

Bagaimana dengan kawasan lain? Jl Dr Mansyur sebenarnya sudah bisa menjadi kawasan kuliner yang cukup beragam, hanya saja begitu minim cita rasa kuliner Medan, bagi penulis makan di kawasan ini tak beda jauh dengan makan di kaki lima di sudut Kota Jakarta.

Kalau saja pemerintah Kota Medan ini mau lebih serius menata perwajahan kulinernya, Medan akan meraup keuntungan besar dari wisata makan. Betapa tidak, Medan mungkin minim dengan tempat wisata, tapi Medan memiliki berbagai makanan khas yang disukai banyak orang. Ini belum termasuk makanan khas dari berbagai etnis yang mendiami Kota Medan. Ragam multikultur ini justru akan memperkaya menu kuliner Medan.

Dan yang tak kalah penting adalah mendidik para pelaku usaha kuliner akan sadar wisata. Penataan wisata tak bisa dipandang sebelah mata. Selain cita rasa menu, pengunjung akan semakin merasa betah dengan kebersihan, pelayanan yang profesional, dan kreativitas konsep tempat kuliner.

Untuk itu pengusaha tidak bisa sendiri. Butuh kerja sama yang apik antara pemerintah dan pengusaha. Pengusaha menyediakan kreativitas dan etos kerjanya, pemerintah mendukung dengan ruang usaha, perizinan, serta pembinaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline