Dalam dunia sastra, perkembangannya yang pesat terjadi karena bermunculannya para sastrawan yang tak sedikit melahirkan karya sastra. Banyaknya sastrawan serta karya sastra yang ditulis dari generasi ke generasi, terbentuklah sebuah periodisasi atau kurun waktu dalam perkembangan sastra. Salah satu dari periodisasi sastra Indonesia yakni periodisasi sebelum kemerdekaan, tepatnya pada angkatan pujangga baru terdapat sosok sastrawan yang tentunya mempunyai peran penting dalam perkembangan dunia sastra Indonesia, yakni Sutan Takdir Alisjahbana.
Siapakah sosok Sutan Takdir Alisjahbana?
Sutan Takdir Alisjahbana merupakan seorang sastrawan Indonesia yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia sastra. Tak hanya menjadi seorang sastrawan, beliau juga merupakan seorang ahli tata bahasa, budayawan, serta pendiri dari Universitas Nasional di Jakarta.
Sutan Takdir Alisjahbana atau kerap kali disingkat menjadi STA, merupakan anak dari pasangan Putri Samiah dan Raden Alisjahbana yang lahir pada tanggal 11 Februari 1908, tepatnya di Natal, Sumatera Utara.
Sutan Takdir Alisjahbana mempersunting Raden Ajeng Rohani Daha dan dikaruniai 3 orang anak yakni Sofyan, Samiati, serta Iskandar. Pada tahun 1941, Sutan Takdir Alisjahbana menikah lagi dengan Raden Roro Sugiarti, karena pada tahun 1935 Raden Ajeng Rohani Daha telah meninggal dunia. Dari pernikahan kedua, Sutan Takdir Alisjahbana dikaruniai 2 orang anak yakni Sri Artaria dan Mirta.
Sampai pada akhirnya Raden Roro Sugiarti dinyatakan meninggal dunia pada tahun 1952, tepatnya di Los Angeles, California, Sutan Takdir Alisjahbana menikah lagi untuk ketiga kalinya dengan Dr. Margaret Axer, yang dikaruniai 4 orang anak yaitu amalia, Marita, Marga, dan Mario.
Dalam perkembangan dan kemajuan dunia sastra di Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana memiliki peranan yang amat besar. Beliau dikenal dengan sebutan pemikir, maksudnya adalah bahwa Sutan Takdir Alisjahbana merupakan seorang pemikir kebudayaan yang bertentangan dengan pendapat pada umumnya.
Pada periodisasi sebelum kemerdekaan tepatnya angkatan pujangga baru, Sutan Takdir Alisjahbana bersama dengan dua rekannya yakni Armijn Pane dan Amir Hamzah menjadi pelopor terbentuknya majalah pujangga baru.
Terbentuknya majalah pujangga baru ini, merupakan bentuk upaya menyuarakan pembaharuan dalam sastra. Dalam perkembangan sastra, Sutan Takdir Alisjahbana sempat menjadi ketua komisi bahasa pada masa penjajahan jepang. Beliau membawa pembaharuan terhadap Bahasa Indonesia sampai akhirnya menjadi bahasa nasional.
Dalam perkembangan dunia sastra Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana melahirkan banyak karya sastra yang tentunya fenomenal di antaranya Layar Terkembang (1936), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega (1963), Tak Putus Dirundung Malang (1929), Perempuan di Persimpangan Zaman (1980), Indonesia: Revolusi Sosial dan Budaya (1961), Lagu Pemacu Ombak: Kumpulan Sajak (1978), dan masih banyak karya dari Sutan Takdir Alisjahbana lainnya.