Lihat ke Halaman Asli

Gaji 3,7 Juta Untuk Buruh, Pantaskah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk tinggi dan sangat minim lahan pekerjaan. Sehingga mengakibatkan banyak penduduknya yang rela bekerja menjadi apa saja demi mencukupi kebutuhannya. Apalagi tuntutan zaman yang akhir-akhir ini semakin “mencekik leher” masyarakat. Harga BBM yang naik sehingga menyebabkan harga semua kebutuhan juga naik. Tentu saja semakin membuat masyarakat berpikir keras bagaimana caranya agar kebutuhan mereka tercukupi.

Belum lagi masalah kurangnya kesadaran penduduk akan pemakaian KB untuk mencegah peledakan penduduk, yang kini masyarakat Indonesia nampaknya sudah mulai merasakan akibatnya. Dan faktor paling penting adalah pendidikan, pendidikan yang akhir-akhir ini kurang diperhatikan oleh masyarakat. Apalagi di masyarakat pedesaan, yang kurang memerhatikan bagaimana kelanjutan hidup anak cucu mereka karena kurang memerhatikan pendidikan anak-cucu mereka.

Salah satu pekerjaan yang mudah dan tidak membutuhkan kerja otak yang tinggi adalah dengan menjadi buruh. Umumnya yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk menjadi karyawan pabrik adalah masyarakat lulusan pendidikan yang tidak begitu tinggi. Inilah salah satu cara masyarakat untuk menjadikan pekerjaan tersebut menjadi mata pencaharian mereka. Mereka lebih memilih pekerjaan tersebut daripada bekerja memanfaatkan dan mengolah lahan yang sudah ada sebagai petani dengan alasan “lebih praktis dan mudah”.

Akan tetapi, sangat disayangkan bila para buruh ini tidak “sadar diri” akan bagaimana hubungan antara kemampuan dan hak yang mereka inginkan (dalam hal ini gaji). Dengan kemampuan yang terbatas, mereka meminta hak yang lebih, dan apabila ditimbang keduanya tidak seimbang. Apalagi saat ini, sedang gencar-gencarnya para buruh meminta kenaikan UMP mereka yang tampaknya sangat fantastis, melampaui 100% dari gaji sebelumnya. Mungkin sebagai pengusaha yang akan menggaji mereka, apabila mereka mampu meningkatkan profit atau keuntungan perusahaan, pengusaha tidak merasa keberatan dengan besarnya gaji yang akan mereka berikan kepada karyawannya. Namun, apabila para karyawan tidak bisa memberikan atau meningkatkan kinerja yang berarti bagi perusahaan, wajarkah apabila pengusaha merasa keberatan?

Saya disini, akan mencoba mengulas dari sudut pandang sebagai warga negara yang netral. Memang benar apabila akhir-akhir ini harga kebutuhan pokok naik yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Namun, perlu dipikir ulang, selain harga BBM yang naik yang dapat mempengaruhi kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan gaji yang diterima pegawai/karyawan baik negeri maupun swasta pun bisa ikut mempengaruhi kenaikan harga kebutuhan pokok.

Bayangkan saja, apabila gaji yang diminta oleh pekerja perusahaan dikabulkan oleh sang pengusaha. Upah Minimum Pekerja yang mungkin bisa disebut tidak minimum lagi saat ini jadi naik, upah yang diterima oleh karyawan/pekerja naik. Tentu saja akan berpengaruh terhadap harga-harga kenaikan kebutuhan pokok. Harga kebutuhan pokok di pasaran akan naik, seperti sembako. Dan pasti nanti jika harga barang-barang tersebut sudahmengalami kenaikan. Timbul tuntutan baru untuk meminta kenaikan gaji. Dan pasti terus-menerus akan seperti itu. Sehingga tidak aka nada titik temu, padahal kinerja karyawan tidak sesuai dengan harapan perusahaan. Yang mengakibatkan Indonesia semakin banyak meng-impor barang-barang dari luar negeri. Bahkan saat ini Indonesia yang dikenal negara agraris pun meng-impor beras dari Filipina. Sungguh ironis.

Hal yang perlu diperhatikan saat ini adalah, perbaikan SDM yang perlu ditingkatkan lagi di semua kalangan masyarakat. Baik di desa maupun di kota. Pemberian pendidikan dan pelatihan keterampilan yang cukup perlu dilakukan agar mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas sehingga mampu memenuhi target dari perusahaan, dan secara tidak langsung membantu negara mengurangi kuota impor dari luar negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline