Lihat ke Halaman Asli

Rachmawati Ash

Guru, Penulis, dan pegiat literasi

Pamit

Diperbarui: 24 September 2024   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Alamat hari ini aku pulang malam lagi. Dosen pembimbing skripsi memintaku menemuinya selepas magrib. Sebagai mahasiswa aku sudah cukup sabar, menunggunya dari pukul delapan pagi hingga sore hari. Baiklah, aku menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan-lahan. 

Aku berusaha memaklumi perilaku Pak Wahab yang terlalu sibuk. Aku juga berusaha memberi semangat pada diriku sendiri. "Ayolah, Arjun, ini hanya sementara, setelah skripsimu selesai kamu boleh piknik atau jalan-jalan dengan Tita." Aku mengomel sendiri, sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. "Aku pasti bisa, pasti bisa.".

**
Aku membuka pintu pagar rumah dengan sisa tenaga yang masih kusimpan, dengan kaki kanan kudorong pintu besi berwarna cokelat tua, suaranya berderit karena karat yang membandel di sisi-sisi rodanya. Aku terkejut, mobil sedan hitam milik ayahku terpakir manis di halaman rumah. Bukankah tadi pagi Ayah, Ibu, dan Dendi sudah pergi ke rumah Bude di Solo? Aku membatin sambil lalu. Sudahlah, sekarang yang kubutuhkan adalah mandi dan tidur.

Kuletakkan tas ranselku di meja ruang tamu. Aku terkejut karena Dendi---adikku satu-satunya---yang sudah berdiri di belakangku. Tersenyum nyengir dengan segelas susu cokelat disodorkannya padaku. Aku menerimanya.

"Gimana, tadi perjalanannnya ke rumah Bude? Aku pikir kalian akan menginap di sana, tapi, baguslah kalian sudah pulang aku jadi tidak kesepian."

Dendi membuang wajah menatap ke arah kamar Ibu, senyum nyengirnya berubah kecut.

"Ayolah, Bung, kamu sudah besar, sebentar lagi kamu akan kuliah, kan? Jangan ngambek begitu, Aku tidak bisa menemanimu ke rumah Bude karena Aku ada janji dengan dosen pembimbingku hari ini." Aku berusaha menjelaskan kepada Adikku. Dendi tidak menjawab, berjalan sempoyongan ke dapur. "Dendi, kamu pucat banget, pasti kamu capek. Udah, deh, Istirahat dulu sana, jadwal nyuci piring bisa dirapel besok, kan?" Aku memperhatikan wajah Adikku yang pucat.

Tiba-tiba aku merasa iba, meski biasanya Aku akan berteriak jika dia tidak mengerjakan tugas rumah sesuai jadwal yang sudah disepakati. Dendi tidak menghiraukanku, dia berjalan ke dapur dan membereskan alat-alat makan di meja makan. Lampu dapur tidak dinyalakan, aku mengangkat bahu saat mendapati Adikku mencuci piring dalam keadaan ruang gelap. Bagaimana Dia akan tahu piring dan gelas sudah bersih kalau gelap begini?

Aku kembali ke kamarku, setelah mandi badanku kembali segar. Kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul 22.00 malam. Aku mengambil remot, menyalakan televisi di kamarku. Ponselku berdering, segera aku menyambarnya dari atas meja belajar.

"Arjun, lembar bimbingan skripsi tertinggal di tas ranselmu, tadi pagi aku nitipin ke kamu, kan? Ya ampun, maaf, Jun, aku lupa besok ada bimbingan jam tujuh pagi, jadi gimana, boleh kuambil ke rumahmu?" Suara Tita tampak panik di seberang telepon. Aku masih mendengar penjelasannya, belum sempat memberi jawaban, namun telepon sudah dimatikan

Kucoba menelepon Tita, mencegahnya agar tidak ke rumahku malam-malam begini, bukan apa-apa, tapi aku lebih mengkhawatirkan keselamatannya. Rumahnya lumayan jauh dari rumahku, kalau naik motor akan memakan waktu sekitar lima belas menit, itu untuk ukuran laki-laki. Nihil, teleponku tidak diangkat, Tita pasti sudah dalam perjalanan ke rumahku. Aku segera keluar kamar menuju ke teras rumah. Aku mendapati Dendi sedang nonton televisi di ruang tengah. Bocah aneh, nonton TV, kok, diam saja tanpa reaksi, kalau begini jadinya TV yang nonton Dendi, kan. Kalau memang lelah setelah perjalanan jauh seharusnya tidur, bukan memaksakan diri seperti ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline