"Dasar anak kampang, gara-gara kamu anak saya terluka!", ibu Mila Meneriaki Zubaedah. Di hardik seperti itu Zubaidah menangis dan berlari pulang, meninggalkan sepedanya yang teronggok ditengah jalan. Heran dijaman seperti ini melihat seorang ibu yang masih ikut campur saat anak-anaknya bermain dan membela mati-matian seperti itu, menurutku bukanlah hal terpuji. Apalagi menghardik dengana kalimat yang kurang pantas. Zubaedah hanya membonceng anak itu dengan sepedanya. Dan qodarullah mereka jatuh karena tak melihat tumpukan batu di depannya. Tinggallah sepeda Zubaedah terabaikan di tengah jalan. Aku menepikan sepeda itu agar tak menghalangi pengendara lain. Astaghfirullah. Mungkin Zubaidah menangis karena hardikan dari ibu Mila, dia sendiri tak mengerti makna dari "Kampang" itu sendiri. Mendengar kalimat itu, saya gak suka karena kalimat itu sendiri memiliki arti Anak Haram, Zubaedah bukan anak Haram, yang haram itu kelakuan orang tua mereka.
"Assalamualaikum," "Waalaikumsalam nak, Wulandari sudah makan", tanya ibu saat melihatku masuk rumah, kalimat ini berulangkali ibu selalu tanyakan saat melihat aku dan adikku baru datang dari luar. Bagiku ibu adalah sosok penyayang yang tak pernah menghardik bahkan memarahi kami anak-anaknya jika melakukan sebuah kesalahan. Bagiku ibu sosok penyanyang dan penyabar. Segera ku dekati beliau, mencium tangannya dan mencium keningnya. Ini adalah ritual wajib kami sekeluarga saat keluar atau baru datang ke rumah. Sejak kecil ibu menanamkan karakter-karakter baik pada kami anak-anaknya. Kupandangi wajah tuanya. Bagiku ibu adalah malaikat tak bersayap yang kupunya dan selalu melindungi kami anak-anaknya dengan limpahan kasih sayang.
Siang ini hidangan dimeja makan sudah tersedia. Soal masakan rumahan, ibu adalah koki handal kami. Haruan dan pepuyu goreng, gangan labu dan sambal terasi membuat selera makanku mengganas. Rasa lapar yang sejak tadi aku rasakan kini hilang dalam sekejap. Jika sudah begini program dietku menjadi kacau. Kunikmati suapan demi suapan nasi dan lauk pauknya dengan nikmat, keringat mengucur dikening, kalo tidak ingat pesan ibu dalam sebuah cerita saat masih kecil yaitu kisah seorang raja yang meminta saran dari empat orang dokter yang di datangkan dari 4 penjuru dunia yaitu dari India, Romawi, Irak dan Sudan. Kata Ibu Sang Raja meminta saran kepada para dokter bagaimana agar tubuh kita selalu sehat, kemudian ke 4 dokter tersebut memberikan saran yang sama yaitu memakan empat sehat lima sempurna dan saran lainnya adalah makanlah ketika lapar lalu berhentilah sebelum kenyang. Mengingat kisah itu segera kubersihkan sisa nasi di piring dan tidak menambah makanan lagi. Tak lama kemudian gawai dalam kamar berdering, bergegas ke kamar dan mengangkat telepon tersebut, ternyata dari bang Agus. "Wulandari sore ini kita ada kegiatan sosialisasi di daerah Solong, nanti kamu abang jemput ya" "Baik Bang" Kututup telepon, dan aku kembali bergegas ke dapur merapikan meja makan dan mencuci piring bekas makanku. Usai makan siang, segera kutunaikan sholat dhuhur, lalu kurebahkan tubuhku sejenak agar fresh beraktifitas sore ini.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, waktu satu jam untuk istirahat bagiku sudah cukup, segera kusiapkan konsep buat kegiatan sosialisasi sore nanti. Biasanya anggota kami terbagi dua, satu kelompok menangani ibu-ibu dan kelompok lainnya menangani anak-anak yang ikut dengan ibunya, tujuan kami agar apa yang kami sampaikan lebih fokus dan anak-anak juga merasa senang menunggu ibunya hingga sosialisasi berakhir. Seperti biasa kusiapkan materi presentasi buat bang Agus dalam bentuk presetasi dan beberapa video ice breaking agar kegiatan kami tidak membosankan para ibu, demikian halnya untuk anak-anak, selain video inspiratif ala anak-anak aku juga menyiapkan beberapa boneka unruk kami jadikan tokoh pengganti diri kami agar mereka senang. Usai menyiapkan beberapa kebutuhan sosialisasi, aku segera mandi, setelah berpakaian kuambil tas yang telah kusiapkan, dan menunggu di teras rumah.
Jam telah menunjukkan pukul tiga sore tak lama kemudian tak Bang Agus sudah tiba di depan rumah, melihatnya datang jantungku bergemuruh kencang, tapi segera kutampik agar tak kecewa. "Assalamualaikum, wah dek Wulandari sudah siap, mana ibu?" Kujawab salam bang Agus, mempersilahkan dia duduk di kursi teras dan aku bergegas memanggil ibu. "Eh, nak Agus, kalian sosialisasi kemana hari ini?" tanya ibuku, "Ke Solong bu, dekat eks lokalisasi di sana", Usai menjawab petanyaan ibu Bang agus berdiri dan salim pada ibuku. Sikap santun dan kesalehannya telah menmbat hatiku. Setelah pamit dengan ibu, kami kemudian menuju mobil yang akan membawa kami ke lokasi tujuan.
Kami adalah sekelompok relawan mahasiswa yang sedang memiliki visi sosialisasi pengaruh buruk pergaulan bebas bagi hidup dan kehidupan dimasa yang akan datang. Pergaulan bebas adalah perilaku menyimpang yang sedang trend pada masyarakat terlebih dilingkungan anak-anak kost yang jauh dari orang tuanya, latar belakang keluarga yang kurang harmonis, memilih lingkungan pertemanan yang salah serta keadaan ekonomi. Tanpa adanya orang tua yang mengawasi dari dekat atau karena masalah dalam keluarga terutama kedua orang tua yang tidak harmonis penyebab terbesar timbulnya pergaulan jalinan pertemanan yang melewati batas peraturan atau norma yang berlaku di masyarakat. Terjadinya pergaulan bebas memberikan pengaruh buruk bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat sekitar.
Kujalani tugas sebagai operator untuk presentasi Bang Agus, aku melihat ibu-ibu yang hadir sangat antusias menyimak penjelasan Bang Agus. "Pada masa kecil, anak-anak harus di berikan perhatian lebih agar nantinya saat dewasa nanti tidak sampai terjerumus dalam pergaulan bebas. Sejak kecil anak sudah harus diajarkan mengisi waktu lang mereka dengan ha-hal positif, seperti olah raga, mengembangkan bakat bermusik atau membuat keterampilan. Hubungan orang tua dan anak harus harmonis sehingga terjalin sebuah ikatan batin dan anak nantinya akan sealu menjadikan orangtua sebagai teman dan tempat berkeluh kesah. Ayo dukung penolakan pergaulan bebas dimulai dari sekarang." Bang agus menutup materi materinya diiringi tepuk tangan dari para ibu-ibu. Materi bang Agus selalu singkat padat dan berisi. Rasa kagumku semakin besar. Bang Agus sangat ideal dijadikan pendamping hidup. Aku tersipu malu dengan pikiranku sendiri. "Apakah dia sudah memiliki kekasih?," tanyaku dalam hati.
"Wulandari, mikirin siapa nih?" tanyanya padaku, aku gugup dan malu dibuatnya. "Nggak mikirin siapa-siapa kok!." Jawabku spontan. "Minggu ini, Ayah dan Ibu ada dirumah?, tanyanya padaku. "Iya Bang, Ayah dan ibu ada dirumah." Usai menjawab pertanyaan bang Agus aku bertanya dalam hati ada urusan apa dia ingin bertemu ayah dan ibuku. Kubiarkan pertanyaan itu menguap dan hilang dari pikiranku. Sambil menunggu dongeng untuk anak-anak di ruang sebelah usai, aku mengemas perlengkapan presentasi dan merapikan ruangan seperti semula.
Hari Minggu telah tiba, aku sudah lupa dengan pertanyaan Bang Agus padaku beberapa hari yang lalu. Saat tengah menyapu pekarangan, klakson mobil membuyarkan keseriusanku membersihkan daun-daun yang nyangkut di jendela kamar, kulihat Bang Agus melambaikan tangan di balik mobil. Bergegas aku membukakan pintu pagar rumah. Ternyata dia memenuhi ucapannya untuk menemui ayah dan ibuku. Tapi dalam rangka apa, kubiarkan Tanya itu kembali menguap dalam benakku. "Ayah dan Ibu ada Wulandari" tanyanya "Iya bang ada, silahkan masuk, saya akan panggilkan dahulu." Bang Agus masuk dan duduk, dia lalu mengambil Koran yang terletak di meja dan membacanya. "Ayah, Ibu ada Bang Agus ingin bertemu" Ayah dan ibu kemudian menemui Bang Agus. Kusiapkan secangkir the hangat untuknya dan kembali melanjutkan pekerjaanku menyapu halaman rumah. Selesai menyapu, aku masuk rumah lewat pintu belakang dan membantu membersihkan sayur ibu di dapur yang terhenti karena kedatangan Bang Agus.
"Wulandari sini nak" terdengar suara ayah memanggilku, kusimpan sayuran yang aku bersihkan diatas meja dan bergegas mendatangi ayah. Saat tiba diruang tamu, wajah tiga orang dihadapanku terlihat tegang. Ayah memintaku duduk disampingnya.