Seperti bangsa ini, demikian pula jalan hidupnya. Penuh ironi. Ironis. Tapi ia juga pria romantis. Dialah Bung Kecil, Sutan Sjahrir. Hari ini, 9 April 55 tahun lampau ia mengembuskan napas penghabisan.
Bagaimana tidak disebut ironi?
Dialah mantan Perdana Menteri Indonesia yang dipenjara. Kelak yang memasukkanya ke dalam terungku pula yang memberi restu agar Sjahrir dimakamkan di taman makam pahlawan.
Saat sakit menderanya sementara ia berstatus sebagai tahanan politik, ia tak mendapat perawatan yang bagus. Hingga akhirnya ia diizinkan berobat di luar negeri setelah istrinya meminta izin pada Bung Karno. Sutan Sjahrir akhirnya mangkat di Rumah Sakit Kanton Spital, Zurich, Swiss, 9 April 1966.
Bung Kecil dengan pemikiran besar yang sudah disegani kawan bahkan gurunya semasa sekolah. Ia yang ketika menjabat perdana menteri memberikan jabatan kepada seseorang yang pernah merugikannya. Hamid Algadri, yang menanyakan ini kepada Sjahrir mendapat jawaban bahwa seorang pemimpin harus dapat menggunakan tenaga sesuai kemampuannya, kemampuan intelektual dan kemampuan moral. Sjahrir sadar ia salah mengukur kemampuan moral kawannya itu, tapi kemampuan inteletual sang kawan itu ternyata dibutuhkan. Itulah yang membuatnya memberikan jabatan.
Sjahrir dan Bung Karno, dalam beberapa hal punya kesamaan. Tak terkecuali ketertarikannya pada perempuan. Dan kedua bung itu, pernah menyukai (atau bahkan mencintai) wanita yang sama, yakni Gusti Noeroel atau lengkapnya Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumowardhani, putri keraton Pura Mangkunagaran, Solo.
Simak bagaimana Gusti Noeroel menceritakan sosok Sjahrir yang jatuh hati padanya.
"Diam-diam, ada seorang pria lain yang juga mencoba mendekatiku, yang bukan dari bangsawan Jawa. Ia adalah Sutan Sjahrir." Cerita Gusti Noeroel itu ada di buku biografinya, Gusti Noeroel Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan).
Sjahrir yang romatis itu bahkan kerap mengutus orang kepercayaanya ke Pura Mangkunagaran khusus mengantar hadiah juga surat. Tentu saja, untuk Gusti Noeroel pujaan hatinya. Hadiah itu bisa berupa selendang sutra, tas bahkan jam tangan merek terkenal. Sesungguhnya, dibanding kepada Soekarno, putri Pura Mangkunagaran itu lebih respek kepada Sjahrir. Ia kerap berbalas surat dengan Sjahrir. Dan jamak diketahui khalayak, Gusti Noeroel menolak dipoligami.
Sjahrir pula yang mengundang Gusti Noeroel dan sejumlah keluarganya ke tempat ditekennya Perjanjian Linggarjati. Gusti Noeroel punya kenangan dengan kejadian ini, kata dia "Tapi aku masih ingat Sjahrir pernah membelai pipi dan daguku dan aku diam saja."
Dan apa yang lebih menikam hati ketika cinta harus terbentur kasta? Kisah Gusti Noeroel dan Sjahrir hanya sebatas surat korespondensi kaum muda, tak berakhir di atas surat sah tanda menikah.