Pengujung tahun ini, lima tahun sudah saya menyimpan surat bertulis tangan itu. Disaat surat sudah ditinggalkan lantaran era gawai bersanding wifi barangkali inilah surat terakhir yang orang kirim buat saya.
Tapi, bukan itu alasan utama saya menyimpannya. Mei lalu, surat yang lama tersimpan di map arsip tersebut kembali saya buka. Hari itu saya mendapati berita, orang yang mengirimi saya surat lima tahun lalu menghembuskan napas penghabisan.
Dulu, mungkin nama ini terdengar asing. Bahkan oleh generasi yang membersamai karyanya semasa sekolah dasar. Tapi setelah kepergiannya pada 10 Mei 2016, makin banyak orang tahu bahwa dialah sosok di balik tokoh Budi, Wati, Iwan yang ada di balik buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD di era 80-an.
Siti Rahmani Rauf. Dialah penulis surat itu yang menjadi alasan, mengapa saya tetap menyimpan surat tadi. Spesial. Nenek Siti lah, yang menurut penuturannya kepada saya yang menulis buku Ini Budi. Belakangan, seturut pengakuan anaknya di sejumlah berita pasca nenek Siti tutup usia, Siti Rahmani Rauf adalah pembuat media pembelajaran Ini Budi.
Yang jelas, apa yang didedikasikan Siti Rahmani Rauf muda menjadi bagian bersejarah dalam dunia pendidikan tanah air. Begitulah, Scripta manent verba Volant.
*
Menulis di Kompasiana sejak 2009, hingga kini sesungguhnya saya amat tak produktif. Tanpa tulisan ini, cuma 176 artikel yang saya bikin. Delapan diantaranya kebetulan dijadikan HL alias headline. Lumayan. Heheh.
Lalu ada 105 artikel pilihan dan diikuti oleh 501 kompasianer. Yang saya yakin, ratusan kompasianer itu tak pula menunggu-nunggu tulisan saya.
Tapi saya beruntung memiliki momen terbaik di rumah sehat ini dalam rekam jejak yang tak produktif dan tak aktif di ranah kopi darat. Terhubung dengan Siti Rahmani Rauf dan dikirimi surat olehnya. Oleh orang yang ada di balik generasi Ini Budi seperti saya. Itulah momen yang saya syukuri.
Bermula tanpa sengaja berkenalan dengan seorang kompasianer yang ternyata cucu nenek Siti. Dari dialah saya kemudian bisa menelpon nenek Siti. Siapa sangka, Siti yang orang minang pernah menetap dan mengajar di Jambi. Kota kecil tempat saya terlahir.
Terjadilah perbincangan hangat itu. Obrolah ringan yang kemudian saya tuliskan sebagai human interest story di media tempat saya bekerja. Dan setelahnya, nenek Siti mengirimi saya surat.