Lihat ke Halaman Asli

Rachmawan Deddy

Profesional

Pengusaha dan Dewan Pers Bicara Oplah

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya tertegun saat ditanya sejumlah pengusaha secara terpisah, soal oplah koran (mereka bertanya sambil menyebut nama media dimaksud). Bukan pertanyaanya yang membuat tercekat. Tapi di kalimat tanya itu, mereka menyebutkan sejumlah angka. Angka yang merujuk jumlah oplah cetak yang jumlahnya hmm…fantastis sekali. Saya tak menjawab pertanyaan itu. Tapi akhirnya kami berdiskusi mengenai surat kabar di kota tempat kami tinggal. Lalu, mulailah kami menyoal konsumsi kertas, tinta cetak di kota saya. Meski tak dapat hasil pasti, tapi si pengusaha berkesimpulan, angka oplah yang disebutkannya tadi tidak masuk akal. Dengan kata lain, kliennya tak memberikan data valid soal oplah medianya. Kemudian, kami berhitung soal kapasitas mesin. Jika satu mesin untuk mencetak koran sebanyak itu (sejumlah oplah yang disebutI, untuk satu media sangat masuk akal. Tapi, pengusaha kemudian menyebut, bahwa mesin percetakan itu dipakai keroyokan. Bukan satu media, tapi banyak media yang mencetak di sana. Dan sialnya, beberapa media itu mengklaim oplah yang sama dengan bilangan jumbo tadi. Lantas kami menyimpulkan, dengan kondisi itu tidaklah mungkin mesin pecetakan akan mampu mencetak koran sebanyak itu.  Indikatornya,  kapasitas produksi, waktu cetak tak membuktikan fakta tercetaknya koran dengan jumlah yang ditanyakan pengusaha tai. Jadi, sangat tidak masuk akal. Bicara oplah, beberapa hari lalu Uni Lubis dari Dewan pers bertandang ke kota tempat saya tinggal. Ia mengunjungi sejumlah kantor perusahaan media. Ia mencatat, sebelum reformasi total oplah media cetak secara nasional adalah 17,7 eksemplar. Tapi, kini jumlah itu susut jauh menjadi 14 juta eksemplar. Banyak penyebabnya memang. Misalnya, pascareformasi yang melahirkan kebebasan demokrasi dan pers membuat beragam media tumbuh bak cendawan di musim peghujan. Termasuk media yang diistilahkan Mbak Uni, media hit and run. Kehadiran banyak media itulah salah satu sebab menurunnya oplah secara nasional. Pasalnya, media baru itu menyedot pembaca media yang lahir lebih dulu. Kembali ke cerita pengusaha tadi. Sejumlah pengusaha tadi berkepentingan dengan media karena mereka pemasang iklan. Satu dari pengusaha itu berujar, sangat penting baginya mengetahui oplah media tempat ia beriklan. “jangan sampai membuang uang di sungai,” katanya. Saya senang, dari beberapa pelaku usaha itu ternyata melakukan survey kecil-kecilan untuk mengetahui fakta sebenarnya. Mereka mensurvei pembaca, mencari tahu data ril oplah sebuah media. Di akhir pertemuan, pertanyaan mereka diawal terjawab dengan sendirinya. Dan mereka pun geleng-geleng kepala. [caption id="attachment_240073" align="alignleft" width="300" caption="dewan pers saat berkunjung ke tempat saya kerja. foto;hanif burhani/tribun jambi"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline