Seorang pejabat di Jambi berbincang pada seorang wartawan senior pada 2006. Petinggi di Provinsi Jambi itu bukan sedang berbicara pada tokoh pers lokal. Sang wartawan tak lain teman pejabat semasa kuliah dulu di Jakarta.
Pejabat itu meminta atau lebih tepatnya menyarankan, agar perusahaan tempat si wartawan bekerja membuat koran di Jambi. “Payah-payah wartawan di Jambi ini,” kurang lebih begitu perkataan pejabat yang ditirukan wartawan senior tersebut. Payah yang dimaksud merujuk pada perilaku, sifat negatif. Mulai dari wartawan bodrek yang suka memeras hingga budaya amplop, mungkin.
Petinggi di sebuah media di bawah naungan koran nasional ternama itu pun mengamini. Maka masuklah nama kota Jambi atau provinsi Jambi dalam daftar ekspansi mereka.
Tiga tahun berlalu. Kini benih-benih koran yang hendak digarap itu mulai disemai. Hitung mundur sudah dimulai. Bahwa proses untuk terbitnya sebuah surat kabar sudah dilakukan. Si wartawan teman pejabat itu bahkan ikut membidani hingga merawat benih agar menjadi media yang bernas.
Tiga tahun berlalu. Si wartawan untuk kali pertama menginjakkan kakinya di tanah pilih psako betuah. Ia tiada bermaksud menemui sang pejabat yang mantan anggota DPR itu. Kehadirannya justru untuk mewujudkan harapan rekannya semasa aktif di pers kampus itu.
Di Jambi pun, wartawan beristeri orang Jepang itu tidak mendapati kawannya yang sukses jadi pejabat tersebut. Jauh sebelum harapannya terwujud, pejabat itu justru meninggalkan Jambi untuk waktu yang lama.
Setahun sejak keinginannya disampaikan, ucapan pejabat itu seakan menjadi kontraproduktif. Kemewahan semasa ia menjabat sebagai orang nomor dua di provinsi ini harus ditinggalkan. Protokoler yang ketat atau bahkan kaku berganti pola hidup lapas yang itu-itu saja. Ia menjadi tahanan KPK!
Adalah Uki M Kurdi sang wartawan tadi. Adapun pejabat dimaksud, tak perlu ku ceritakan lagi. Uki adalah Pemred Tribun Lampung, koran milik Persda yang tergabung dalam kelompok Kompas Gramedia. Ia belum lama ini datang ke Kota Jambi. Tujuannya mempersiapkan SDM untuk koran yang akan terbit di Jambi itu. Aku menjadi bagian darinya, bersama puluhan wartawan lainnya yang digembleng.
Dan aku bersyukur bisa ikut menjadi orang-orang pertama dalam menerbitkan koran yang kelak mungkin akan dinamai Tribun Jambi ini. Tanpa menafikan yang kudapat dari tempat aku bekerja sebelumnya, disini banyak hal yang harus aku syukuri. Ilmu yang tak ternilai, profesionalitas perusahaan. Lalu sikap dan integritas yang tak kalah penting.
Sebagai sesama perusahaan penerbitan surat kabar, persaingan tentu suatu keharusan. Bermain secara fair tentunya. Namun demikian toh, semua memiliki segmentasi masing-masing.
Sebagai wartawan pun tak salah kiranya berjalan seiring sejalan. Urusan berita tetap diberi titik pengecualian. Tapi sebagai wartawan tentunya memiliki cita-cita yang sama sebagaimana fungsi profesi ini. Semoga saja sepakat.(*)