Antibiotik adalah bahan kimiawi yang dihasilkan dari organisme seperti bakteri dan jamur, yang dapat mengusik mikroorganisme lainnya. Antibiotik dapat mematikan bakteri (bakterisidal) atau menghambat perkembangan bakteri dan mikroorganisme lain (Bezoen dkk, 2001). Antibiotik terbukti berguna untuk keberlangsungan hidup manusia sejak pertama ditemukannya sampai saat ini. Namun, pemakaiannya yang meningkat secara pesat menimbulkan berbagai persoalan.
Persoalan terpenting adalah timbulnya resisten bakteri terhadap jenis-jenis antibiotik dan mengakibatkan pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotik tidak lagi efisien, bahkan menjadi lebih mahal. Masalah lain yang timbul adalah efek samping obat yang lumayan serius dan akibat yang paling buruk bila kemudian tidak ada lagi antibiotik yang dapat digunakan sehingga dapat mengancam jiwa penderita (Sudarmono, 1986). Antibiotik berasal dari bakteri yang telah dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri yang telah dilemahkan tersebut dapat membunuh bakteri lain yang berkembang di dalam tubuh makhluk hidup.
Paul Ehrlich menemukan antibiotik atau disebut juga "magic bullet", yang diciptakan untuk mengatasi infeksi mikroba. Tahun 1910, Ehrlich menemukan salvarsan yang digunakan untuk mengobati syphilis. Alexander Fleming menemukan penisilin pada tahun 1928. Tujuh tahun kemudian, Gerhard Domagk menemukan sulfa, digunakan sebagai obat anti TB dan isoniazid. Tahun 1943, anti TB streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman juga memperkenalkan terminologi antibiotik.
Sejak saat itu, antibiotik ramai digunakan untuk menangani berbagai macam penyakit infeksi (Utami, 2011). Antibiotik merupakan obat yang diketahui telah menyelamatkan banyak sekali umat di dunia. Antibiotik berkontribusi dalam membatasi morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri juga dapat diobati dengan menggunakan antibiotik. Antibiotik juga digunakan untuk mencegah munculnya infeksi khususnya pada pasien pasca operasi. Kemampuan antibiotik dalam mengatasi maupun mencegah penyakit infeksi menyebabkan penggunaannya mengalami peningkatan yang luar biasa. Bahkan antibiotik digunakan secara tidak tepat atau tidak rasional untuk penyakit yang tidak perlu menggunakan antibiotik, antibiotik juga saat ini sudah dapat dibeli bebas (tanpa resep dokter). Akibatnya, telah terjadi perkembangan bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
Resistensi diartikan sebagai tidak terhambatnya perkembangan bakteri dengan pemberian antibiotik secara terukur dengan dosis normal. Multiple drugs resistance diartikan sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun dua atau lebih klasifikasi obat. Cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi,2003).
Seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai resisten terhadap pemberian antibiotik.
Pada tahun 1950-an telah muncul jenis bakteri baru yang tidak dapat diobati dengan penislin. Tetapi ilmuan terus menerus melakukan penelitian-penelitian, sehingga antibiotik-antibiotik baru terus ditemukan.
Antara tahun 1950 -- 1960-an jenis bakteri yang resisten belum terlalu menghawatirkan, karena penemuan antibiotik baru masih bisa membasmi dan mengatasinya. Namun, sejak akhir 1960-an, tidak ada lagi penemuan yang bisa diandalkan. Pada tahun 1999 ilmuan berhasil menciptakan dan mengembangkan antibiotik baru, tetapi sudah semakin banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Borong, 2012).
Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN- Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichiacoli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain : ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).
Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi dan akibat yang fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, gagal merespon pengobatan, yang mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged illness), meningkatnya resiko kematian (greater risk of death) dan semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit (length of stay). Ketika respon terhadap pengobatan menjadi lambat atau bahkan gagal, pasien menjadi infeksius untuk beberapa waktu yang lama (carrier). Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi bakteri resisten untuk menyebar kepada orang lain. Transportasi dan globalisasi sangat memudahkan penyebaran bakteri resisten antar daerah, negara, bahkan lintas benua. Semua hal tersebut pada akhirnya meningkatka jumlah orang yang terinfeksi di dalam komunitas (Deshpande et al, 2011).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan 10 masalah di dunia kesehatan, salah satunya yaitu resistensi bakteri terhadap obat maupun antibiotik. Efek resistensi ini sangat mengkhawatirkan dunia, sehingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyusun rencana aksi global untuk mengatasinya. Rencana aksi global yang diajukan oleh WHO meliputi data pengamatan resistensi pada manusia dan hewan, penyusunan peraturan, menentukan model bisnis baru untuk pengembangan obat baru, serta kajian dampak dari resistensi antibiotika.