"Bila sebelumnya kami acuh tak acuh ke tetangga, pas banjir terjadi maka kami bisa saling ledek dan bercanda layaknya saudara."
Di tulisan pertama telah kami ulas betapa sengsaranya kena banjir. Namun seperti kebiasaan kita, orang Indonesia, selalu terselip kata: "Untung", pada setiap musibah yang terjadi.
"Untung banjirnya hanya sebentar."
"Untung airnya cuma masuk semata kaki;"
"Untung banjirnya di hari libur," dan seabrek kalimat permisif lainnya, yang pada intinya terkandung hikmah yang bisa kita petik, dari setiap musibah yang terjadi.
Sebagai salah satu korban banjir, saya rasakan ada banyak sisi positif yang diakibatkan banjir, yakni lahirnya solidaritas, kekompakan, dan keakraban antar warga.
Bila sebelumnya kami acuh tak acuh dan bersikap masa bodoh ke tetangga, pas banjir terjadi maka kami bisa saling ledek dan bercanda layaknya saudara.
Kalau dulu, bertegur sapa pun hanya sekadarnya bahkan boleh dikata cuek, lantaran kesibukan masing-masing keluarga, namun kali ini antar tetangga jadi akrab.
Dengan banjir, kami jadi tahu isi rumah tetangga sebelah kami. Apa merk spring-bed nya; Apa merk kulkasnya; Dan bagaimana isi perabotan rumah mereka. Karena banjirlah kami bebas leluasa melongok isi rumah tetangga kami, sesuatu yang mustahil kami lakukan bila keadaan normal.
Banjir juga menjadikan kami tambah akrab. Tersedia bahan obrolan dan pembuka pembicaraan yang tak akan habis-habisnya untuk dibahas. Temanya, tentu saja seputar banjir. Kalimat seperti:
Barang apa aja yang kena? atau Lumpurnya gimana? masih ada gak di lantai? atau basa-basi seperti; Didalam tingginya berapa meter, sepaha, atau cuma semata kaki?
Itu semua menjadi pembuka obrolan yang kadang membuat kita tersenyum getir. Atau kalau papasan di jalan, selalu saja ada bahan untuk diomongkan diantara kami. Misalkan saja: "Wahh mau ujan lagi neh, moga aja di Bogor gak hujan."