Lihat ke Halaman Asli

Rachmat Hidayat

TERVERIFIKASI

Budayawan Betawi

Dampak Banjir yang Kami Rasakan

Diperbarui: 6 Januari 2020   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

Bagi kami yang tinggal di sekitaran bantaran Sungai Ciliwung, rumah kemasukan air (banjir) bukanlah hal yang asing. Meski sudah dua tiga kali bahkan belasan kali kebanjiran, tetap saja kami enggan untuk pindah rumah ke kawasan yang lebih tinggi yang relative aman dari terjangan banjir. 

Saya sendiri, sejak pindah ke Condet, Cililitan di tahun 2010 hingga saat ini sudah merasakan banjir 3 (tiga) kali. Pertama di tahun 2012, dan terakhir kemarin pas tahun baru 2020.

Bagi kami yang kebanjiran, bukan masalah airnya (yang masuk ke rumah) yang kami tangisi. Palingan 'tamu' kiriman dari Bogor, bertahan 2 hingga 24 jam di rumah. Gak lama kok, gak berhari-hari. Justru yang menjadi beban penderitaan adalah kondisi pasca banjir. 

Rumah setelah kemasukan air itu, kalau diibaratkan seperti kapal pecah. Jadi, meski 'tamunya' cuma sebentar, akan tapi dampak yang dihasilkannya sungguh sangat menyiksa tenaga, pikiran, dan perasaan.

Untuk Anda yang belum pernah merasakan banjir, ini saya kasih sedikit ilustrasi dan gambaran, agar kalian juga dapat sedikit berempati terhadap kami yang kebanjiran. Paska banjir maka problem yang kami hadapi adalah krisis air bersih. Ya, ketiadaan air bersih disebabkan (di)matinya listrik untuk pengamanan dari sengatan listrik. Kalaupun listrik sudah dinyalakan, bukan berarti kran air langsung mengucur keluar. Masalah timbul bila pompa atau mesin air kerendam banjir. Walhasil, mesin air mati. Dan ini yang seringan terjadi.

Paska banjir puluhan pompa air ikut ngantri di bengkel. Beragam kasusnya, mulai dari dinamonya kebakar, ganti gulungan hingga mesin yang kemasukan lumpur. 

Untuk memperbaikinya, gak cukup sejam dua jam, tapi bisa berhari-hari tergantung antrian di bengkel. Pasalnya, gak semua tukang bisa betulin mesin air. Kalau mau kelar dalam sehari, kita harus antri seharian nongkrongin di bengkel mesin. Dan yang antri pun bukan hanya kita, tapi puluhan orang. Begitulah, masalah krisis air bersih itu yang pertama. 

dokumen pribadi

Yang kedua, begitu banjir berangsur surut, maka yang tersisa adalah sampah dan lumpur. Inilah kondisi yang saya gambarkan seperti kapal pecah. Perabotan rumah berserakan dimana-mana, mulai dari panci, tempat sampah, kompor gas, sofa, sampai spring bed. 

Semuanya berantakan gak karu-karuan. Saya sendiri sampai pening melihat rumah yang isinya porak poranda. Bingung mau mulai bersihin dari bagian mana. Ngeliatnya saja sudah bikin capek, apalagi kalau ngeberesinnya. 

dokumen pribadi

Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengais barang-barang yang selamat dan masih bisa digunakan. Memilah-milah mana perabot dan barang yang dibuang dan mana yang tidak. Kerjaan ini tentu menyita pikiran dan tenaga. Terpikir bagimana benda kesayangan hancur kena banjir. Kepikiran bagaimana sofa dan spring bed yang dibeli dengan cucuran keringat harus dibuang ke pinggir jalan depan gang rumah, hiks.

Setelah urusan itu selesai, tahap selanjutnya adalah membersihkan lantai rumah dari lumpur dan kotoran. Nah, untuk ngebersihinnya tentu membutuhkan air bersih. Iya, kalau mesin air nyala, Lha kalau mati, maka kembali ke point satu, harus betulin mesin air dulu atau nyelang ke tetangga yang mesin airnya masih nyala. 

Untuk bersihin lumpur ini bukan kerjaan ringan, perlu berkali-kali kumbahan air bersih hingga sampah dan lumpur tak berbekas di lantai. Terakhir, baru disiram dan dibasuh dengan air karbol. Nah, kebayang khan bagaimana capeknya kami yang kena kebanjiran. 

dokumen pribadi

Lalu, setelah lantai rumah bersih, bukan berarti rumah langsung nyaman untuk ditempati seperti sebelum terkena banjir. Belum..! Masih lama prosesnya. Ya, proses berikutnya adalah mindahin barang ke posisi semula. Gotong-gotong barang. 

Namun harus diingat, tidak semua barang harus kembali ditaruh di tempat semula. Ada barang-barang yang harus tetap bertengger di tempat yang tinggi, jaga-jaga bila banjir kembali terjadi, mengingat intensitas hujan yang masih tinggi. Umumnya peralatan elektronik yang bisa diselamatkan, seperti mesin cuci; Kulkas; Televisi, masih harus tetap bertengger diatas. Kalau sudah seperti itu pemandangannya, kebayang kan rumah masih berantakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline