Setelah menikah, lantaran belum mapan, kami masih tinggal bersama orang tua. Ada sekitar 5 tahun kami hidup seatap dengan mereka, dengan suka dan dukanya. Nah, ketika dirasa mampu, baik secara finansial maupun mental, barulah kami berpisah, mencoba memulai hidup berumah tangga dalam arti sebenarnya. Sejak memutuskan pisah dengan mereka, dan tinggal di rumah milik sendiri, maka segala resiko berumah tanggapun kami atasi sendiri, tanpa bantuan mereka. Dari mulai mengurus dan mengasuh anak, hingga mengganti kran air yang patah.
Sebelum ‘nekat’ berumah sendiri, orang tua sudah wanti wanti agar kami mampu menempatkan diri dengan baik di lingkungan baru, tempat tinggal kami. Mereka berpesan agar kami dapat hidup bertetangga dengan baik. Akur dengan tetangga. Kami masih ingat, beberapa petuah yang ter-ngiang adalah, perlakukan tetangga melebihi saudara sendiri. Maknanya sangat mendalam. Tetangga adalah orang terdekat kita, dari segi letak dan jaraknya. Tetangga lah orang pertama yang akan kita minta tolong sebelum keluarga kita, yang tinggal berjauhan dengan kita.
Dalam bertetangga harus banyak bertenggang rasa. Hal-hal yang tidak mengenakkan, yang mungkin kita rasakan, harus kita telan, demi menjaga keutuhan hidup bertetangga. Ibaratnya, kita masih dibolehkan ribut dengan keluarga. Sedahsyat apapaun konflik kita dengan keluarga, toh, saban tahun pasti kita akan bersilaturahmi dengan mereka saat lebaran tiba, dan konflik itu akan termaafkan. Apakah karena marahan dengan keluarga, lalu putus hubungan dengan mereka? Ingat, tidak ada istilah bekas saudara. Namun yang perlu dicatat, jangan sampai ribut dengan tetangga, apalagi tetangga yang sudah lebih dulu tinggal di situ. Bila sampai ribut dengan tetangga, yang terjadi adalah, loe yang pindah dari lingkungan situ, atau loe yang akan dikucilkan oleh mereka. Kelar hidup loe!!
Dalam bertetangga akan banyak terjadi tolong menolong. Kita menolong mereka atau mereka menolong kita. Bila tetangga kehabisan garam, misalnya, mungkin ia biasa meminta ke kita. Itu hal yang wajar. Begitupun bila kita akan pergi lama, mungkin bisa menitipkan kunci (rumah) di tetangga, agar lampu depan rumah bisa di nyalakan saat menjelang malam.
Hidup di lingkungan padat, dimana jarak antar rumah yang satu dengan yang lainnya saling berhimpitan tentu ada suka dukanya. Bila ada anak tetangga yang nangis, misalnya, akan dengan jelas kami dengar tangisannya. Begitupun bila ada tetangga di depan atau samping rumah yang ribut dengan suami/istrinya, kami juga bisa menguping keributan mereka. Itulah seninya bertetangga.
Nah, bicara mengenai kehidupan bertetangga, banyak hak dan kewajiban tak tertulis yang ada dalam masyarakat. Salah satunya adalah perihal undang mengundang dalam lingkungan masyarakat. Saya ingin membahas mengenai per-undangan ini lantaran kita sebagai warga masyarakat tentu pernah dan akan selalu melakukannya.
Selama tinggal di lingkungan RW. 07 Condet, kami sekeluarga telah tiga kali mengundang tetangga untuk acara kami. Terakhir, saat kami mengkhitankan si sulung. Agar acara itu diberkati Allah SWT, kami sengaja menggelar selamatan kecil-kecilan dengan mengumpulkan orang. Tanpa kehadiran tetangga pun sebenarnya kami bisa mengumpulkan kerabat hingga puluhan orang lantaran kami keluarga Betawi/Jawa. Namun itu tak kami lakukan. Kami sengaja mengundang tetangga dan bukan kerabat lantaran kami ingin berbaur dengan mereka.
Karena keterbatasan tempat/ruang di rumah kami, maka undangan pun tak banyak kami sebar, hanya untuk kapasitas 50 orang. Biasanya kalau kita mengundang sekitar 50 orang maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi: Pertama, tamu yang datang bisa lebih dari 50, atau sialnya, bisa pula hanya 30-40 orang saja. Untuk jaga-jaga, maka Istri menyiapkan bingkisan sebanyak 70 orang. Begitulah, ternyata yang datang memenuhi undangan kami hanya sekitar 30-an tetangga saja. Ya, lumayanlah, lebih separuhnya yang datang, hiburku.
Saya coba ber-khusnudzon dan berbaik sangka, kenapa tetangga yang diundang, tak semuanya hadir. Pertama; Mungkin banyak tetangga yang masih harus masuk kerja. Maklum acaranya digelar pada hari Sabtu pagi, dimana tak semua tetangga di hari itu memperoleh jatah libur. Kedua; Mungkin saja undangan-nya tak sampai ke tuan rumah. Bisa jadi kertas undangan-nya tertiup angin ketika digeletakkan di meja serambi rumah, atau bisa pula tetangga punya kegiatan yang lebih penting ketimbang memenuhi undangan kami.
Dari banyak alasan-alasan yang mengemuka, yang kami khawatirkan adalah tetangga tidak datang ke acara kami lantaran mereka memang tak suka atau tak merasa perlu dengan keluarga kami. Mungkin saja kami selama ini salah dalam bergaul dengan mereka. Mungkin kami dinilai masih asosial, sehingga tetangga pun segan tuk datang memenuhi undangan kami. Kalalu ini alasannya, wahh perlu diperbaiki lagi tingkah dan polah kami dalam bertetanga. Semoga bukan itu penyebabnya.
Begitulah adanya dengan kehidupan bertetangga. Akan selamanya kita membutuhkan mereka. Jadi, bila kita punya hajat, entah itu nyunatinatau ngawinin anak, dan hanya sedikit tetangga yang hadir, jangan salahkan ketidakhadiran mereka. Mungkin kita yang kurang gaul, asosial, individualis, atau tidak bertetangga dengan baik hingga para tetangga pun segan datang ke rumah kita.