Lihat ke Halaman Asli

Rachmat Hidayat

TERVERIFIKASI

Budayawan Betawi

Kenangan Imlek yang Pernah Kami Rasakan

Diperbarui: 27 Januari 2017   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Imlek tahun ini --seperti imlek-imlek beberapa tahun yang lalu-- tak berarti apa-apa bagi mami. Meski mamiku berdarah tionghoa, namun sudah sejak lama beliau tidak pernah lagi merasakan suasana imlek. Sebelumnya, sekitar tahun 90-an saat famili dan kerabat dekat mamiku masih hidup, kami rutin kecipratan suasana imlek. Ya, Ini karena ada beberapa keluarga mami yang non-muslim, yang masih menjaga tradisi pergantian tahun baru china atau imlekan itu. Jadi, saban imlek tiba, kami pun bisa merasakan kemeriahan dan suka cita imlek sebagaimana saudara-saudara tionghoa lainnya di Indonesia.

Bicara tradisi Imlek di keluarga kami, mamiku pasti akan mengaitkannya dengan kisah dan cerita tentang saudara sepupunya. Kakak Sepupu mami ini tinggal di Kebayoran Lama, dekat pasar. Namanya Lauw Hong Nio. Aku memanggilnya Wak Hong Nio. Usianya lebih tua sekitar sepuluh tahun dengan mami. Yang hingga kini kami kenang dari kebiasaan Uwakku semasa hidupnya adalah, menjelang datangnya hari imlek, beliau tak pernah absen mengirimkan  aneka kue, yang kami kenal dengan nama dodol china.

Kebiasaan ini selalu dilakukan rutin saban tahun, hampir tak pernah absen, hingga beliau wafat sekitar tahun 2000-an. Biasanya menjelang imlek, Ncang Amin, Abang mamiku akan datang ke rumah Wak Hong Nio untuk silaturahmi sekaligus mengambil titipan kue dodol cina yang memang sudah disiapkan oleh Hong Nio. Adakalanya juga salah satu anaknya datang ke rumah mengantarkan bingkisan kue imlek. Namun sayang, selepas kematiannya, kebiasaan yang baik ini tidak diteruskan oleh Beng Tek, Beng Yang, dan anak-anaknya yang lain.  

Mamiku cukup dekat dengannya. Sebab, hanya Wak Hong Nio, saudara sepupu mami yang tinggal di Jakarta. Sepupu-sepupu mami yang lain menyebar di beberapa kota. Jarang sekali mereka bertemu. Kalaupun mereka berkumpul, itu terjadi hanya setahun sekali, saat lebaran tiba, ketika kami ziarah dan silaturahmi kepada leluhur dan kerabat di Subang. Diluar itu biasanya kami bersua saat salah satu diantara saudara kami ada yang menggelar pesta perkawinan.

Saking dekatnya dengan Wak Hong Nio, dimasa muda mami, beliau sering menginap di rumah Wak-ku ini. Biasanya selepas kursus menjahit di kawasan Blok A, seperti anak gadis angkatan 60-an pada umumnya, mamiku -dengan bersepeda- kerap keluyuran hingga jauh ke Kebayoran Lama. Bersama teman-temannya, mamiku menghabiskan sore dengan mencari hiburan sembari nonton di bioskop Bintang Mas, di Pasar Kebayoran Lama. Pulang nonton, bukannya kembali ke Kemang, ke rumah nenekku, namun mamiku justru mampir bertandang ke rumah Hong Nio, yang letaknya tak jauh dari pasar.  

Seperti lazimnya pergaulan antar saudara, Hong Nio, sebagai seorang kakak sangat menjaga dan memperhatikan mami. Ya, mungkin lantaran Hong Nio tahu betapa kurang bahagianya mami menjalani masa kecilnya lantaran di tinggal mati ayahnya. Untuk menghibur mami, kadang-kadang keluarga Hong Nio mengajak mami jalan-jalan, plezier, bahkan hingga keluar kota.

“Mami pernah diajak ke Cimaja (?), waktu nguburin wak Alam, kuburannya ada di gunung. Kuburan China,” kenang mamiku bercerita padaku di suatu sore, di batas akhir senja.

Sebagai seorang yatim, mamiku memang kurang piknik, hehe.. Kalaupun piknik, palingan hanya main ke Pasar Kebayoran, ke rumah sepupunya ini. Biasanya sebelum bertandang, mami akan meng-ebel pintu gerbang dulu, memastikan keadaan ‘aman’. Begitu di tengok ada mami datang, Wak Hong Nio menyuruh Beng Tek (DR. Sunaryo, pakar pembuatan kapal laut), putranya yang masih kecil untuk mengandangkan anjing-anjing mereka. Mamiku memang takut anjing.

Tek, hayo dimasukin anjing-nya, ada Omah (panggilan dari Rohmah) datang,” kenang mamiku menirukan suara Hong Nio saat menyambut kedatangannya.

Keluarga Wak Hong Nio memang memelihara anjing. Anjingnya kecil, namun kalau menyalak, tak kalah garang dengan anjing herder yang besar.

Meski Wak Hong Nio telah wafat dan tradisi hantaran kue china terputus, namun silaturahmi antar keluarga kami dengan keluarga Wak Hong Nio tetap terjaga. Saban lebaran tiba, anak-anaknya selalu datang ke rumah mamiku untuk ber-lebaran. Biasanya mereka datang siang hari, setelah tamu-tamu dan kerabat mami bersilaturahmi selepas Shalat Ied dengan mami. Maklum, mami kini orang tua yang dituakan. Sebab, hanya tinggal mami-lah anak dari kakek/nenek-ku yang masih hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline