Di gedung itu sepertinya cuma aku seorang yang bertampang tak rupawan. Tubuh kecil, dengan balutan jas penahan dingin yang tebal, terlihat gempal. Walaupun demikian, aku tergolong orang yang beruntung, meski bertampang pas-pasan, (pas dilihat rada ganteng juga, hehe..) aku bisa masuk dalam golongan sosialita high class yang tidak sembarang orang bisa masuk ke situ. Maklum, tiket masuknya rada mahal, sekitar 90 dollar. Dengan uang sebesar itu rasanya sayang untuk dihabiskan hanya dengan menonton pertunjukan selama 3 jam.
Namun lantaran tiket sudah ditangan, jadilah malam itu aku laksana pangeran tampan yang sedang berpetualang mencari kesenangan. Ya, sabtu malam di pertengahan Maret 2016 itu aku akhirnya bisa nonton pertunjukan, berbaur dengan mereka yang well educated dan well manner.
Sejujurnya, aku orang rumahan. Jarang pergi keluar untuk nonton, baik itu nonton bola ataupun nonton bioskop. Tontonan yang pernah kulihat secara langsung adalah pertandingan-pertandingan olahraga yang ada di Jakarta, utamanya sepakbola. Waktu kecil bahkan aku sudah diajak nonton pertandingan Indonesia lawan tim asing di GBK. Pernah pula aku nonton live pertandingan Tennis, Squash, dan Basket saat bertugas sebagai LO pada PON XIV tahun 1996, di Jakarta. Jadi hanya dua jenis tontonan itu saja yang pernah kutonton yakni nonton bola dan nonton bioskop. Selebihnya tak ada.
Nah, sewaktu di Philadelphia, memenuhi undangan dari Kemenlu Amerika dalam program IVLP aku berkesempatan menonton sesuatu yang tak ada di Indonesia. Ya, tontonan model begini sangat artistik, menarik, dan dijamin takkan ada di Indonesia. Nonton pertunjukan balet. Balet, seperti kita tahu adalah bukan budaya atau tarian Indonesia. Jadi tak kan pernah ada nonton pertunjukan kolosal balet di Indonesia.
Balet berasal dari budaya barat. Yang kulihat balet itu mungkin sejenis teaterikal dan pertunjukan lenong yang sering di adakan di tanah Betawi. Balet seperti yang kusaksikan di Philly adalah bentuk opera dan tari-tarian dimana semua pemainya berjalan, berputar dan berlari dengan menjinjit kedua kakinya. Tak ada dialog dalam pertunjukan itu, semuanya menari dan hanya tersenyum riang gembira dengan iringan instrument bernuansa klasik
Saat tiba di Academy of Music di Jalan Broad 240 S, Philadelphia dan masuk ke lobby, aku langsung diarahkan ke blok-blok ruangan kursi sesuai dengan nomor tiket yang kuperoleh. Aku duduk di deretan tengah, di bawah bukan dibalkon atas. Dari sini aku dengan jelas melihat tampilan tata panggung yang mewah dan terkesan wah. Panggung seluas lebih kurang 200 meter itu berhias ornament seni yang bernilai tinggi dengan patung-patung ditiap sudutnya.
Begitu masuk ruang pertunjukan, suasana mewah dan meriah langsung tampak dihadapanku. Tercium oleh hidungku, mereka yang hadir menyaksikan performance dari Philadelphia Ballet, semuanya wangi-wangi. Kaum prianya tampan-tampan dengan pakaian parlente, umumnya berjas. Adapun yang wanita, semuanya terlihat cantik-cantik dengan gaun yang sensual dibaluri oleh aroma wangi parfum yang sangat menggoda. Pakaian yang mereka kenakan semuanya bagus-bagus, necis-necis. Dari tampilan dan caranya berjalan, berbicara, dan berpakaian, jelas terlihat yang hadir semuanya, termasuk aku tentunya, ber-well educated.
Begitu layar pertunjukan dibuka, muncullah sepasang pemain ballet menari, sekitar 10 menit lamanya. Kemudian, masuklah sekitar 60 hingga 80 orang pemain. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan beragam usia, bahkan anak-anak pun diikutsertakan dalam pertunjukan ballet ini. Maklum saja, tema yang dimainkan pada malam itu adalah kisah percintaan sepasang remaja di sebuah desa yang tidak direstui oleh orangtua. Ya, sebuah tema yang klasik.
Saat layar tersingkap, baru kutahu, ternyata para pemain ballet itu tidak hanya didominasi usia kanak-kanak atau remaja, usia dewasa pun ada, bahkan banyak. Mereka bermain sesuai dengan peran yang diberikan. Ada yang memerankan tokoh orang tua, dan banyak pula yang memerankan remaja dan anak muda. Mereka berseragam warna warni dengan kostum yang colorful. Ada banyak kostum yang digunakan. Para peballet menari berdasarkan kelompoknya. Tiap kelompok ada sekitar 8 pemain, dengan pakaian yang sama, berwarna cerah yang eye catching.
Meski baru pertama kali nonton ballet, namun aku tidak merasakan kesulitan yang berarti dalam mencerna jalannya cerita. Aku banyak terpukau dengan tampilan para penari yang begitu gemulai berjinjit dengan gerakan yang sangat lincah. Aku seakan dibawa kedalam alam khayal, tempat dan suasana dimana tanpa ada duka dan lara. Sejenak, aku seakan dibawa ke alam surgawi, dimana para bidadari sedang menari.
Selepas pertunjukan, para ‘bangsawan’ keluar gedung dengan masih menyisakan aroma harum dibadannya. Aku berada ditengah-tengah mereka, sendiri. Kuayunkan langkah meninggalkan gedung dalam balutan hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, aku seakan terbangun dari mimpi sekejap tentang dunia yang penuh warna-warni keindahan dari lakon Don Quixote yang menawan. Malam ini aku tertidur, dan besok terhampar realita. Dan realita hidup yang akan kuhadapi mungkin tak seindah tampilan dalam pertunjukan balet.