Istilah transformasi (transformation - bhs Inggris) memiliki arti perubahan. Dalam hal ini perubahan tidak hanya pada bentuk luar, akan tetapi juga menyakut hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan struktur atau karakteristik perekonomian suatu masyarakat.
Di sektor pertanian, transformasi dapat diartikan sebagai perubahan bentuk, ciri, struktur, dan kemampuan sistem pertanian yang dapat menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pedesaan (Pranadji, 2004). Mengapa perlu dorongan untuk transformasi budaya bertani?
Budaya Bertani
Dorongan untuk transformasi teknologi diperlukan karena kondisi ekonomi masyarakat tani di pedesaan, dewasa ini kondisinya masih lemah. Hal itu berkaitan dengan daya dukung (tanah dan sumberdaya alam lainnya) yang semakin menurun, prasarana dan kelembagaan ekonomi yang masih terbelakang, sumberdaya manusia yang belum tergarap dengan baik, tata nilai belum sepenuhnya mencerminkan daya saing yang bisa diandalkan, dan organisasi petani yang perkembangannya lamban dan belum sehat.
Tidak mengherankan, jika masih ada pihak-pihak yang memandang petani secara sosial sebagai kelas masyarakat bawah. Kesejahteraan masyarakat tani relatif rendah, menyebabkan kemampuan petani untuk mengembangkan diri terkendala dan kurang optimal dalam melaksanakan fungsi sosialnya.
Sebagai fakta, ada sekitar 16,6 juta rumahtangga petani di Indonesia ini tingkat pendapatannya masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Rata-rata pendapatan per rumahtangga pertanian yang diperoleh dari usaha tanaman pangan dan palawija, hortikultura, perkebunan dan peternakan serta perikanan besarannya sekitar Rp 26,6 juta per tahun.
Kalau dirinci perbulan, pendapatannya adalah sekitar Rp 2,2 juta. Dengan asumsi setiap rumahtangga memiliki empat orang anggota keluarga, artinya setiap anggota keluarga hanya berpendapatan kurang dari Rp 600 ribu.
Jika dibandingkan dengan pekerja di sektor informal yang mendapat UMR antara Rp 2 - 3 juta per orang per bulan, pendapatan di sektor pertanian itu hanya sekitar sepertiga dari UMR. Hal itu menegaskan status masyarakat petani yang belum sejahtera.
Ada banyak faktor penyebab rendahnya kesejahteraan petani, bisa karena faktor internal maupun faktor eksternal. Rendahnya basis pendidikan formal, penguasaan lahan usaha yang relatif sempit, tidak akses ke sumber teknologi, dan akses ke lembaga permodalan, semua itu merupakan faktor internal yang ditengarai menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat tani
Kita menyaksikan bahwa mayoritas basis pendidikan formal petani di Indonesia relatif rendah. Tamat sekolah dasar, bahkan ada juga yang tidak sempat menyelesaikan pendidikan dasar sekalipun. Relatif rendahnya pendidikan formal tersebut seringkali