Lihat ke Halaman Asli

Desa Tumbak dalam Sehari Digoyang Ombak

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemandangan dari puncak Pulau Tumbak Cerita sebelumnya Malam sebelumnya, agen perjalanan yang mengurusi perjalanan Saya ke desa Tumbak bilang, “cuaca di Tumbak masih aman,” katanya lewat whatsApp. Setelah di dorong oleh paman, perahu kecil miliknya kembali masuk ke perairan. Ia pun loncat ke atas perahu dan duduk di belakang. Tali yang terbelit pada mesin perahu ditariknya dan “brrr…..” bunyi deru mesin menyala. Perlahan kami meninggalkan Pulau Baling-baling dengan bantuan angin dan dorongan ombak. Di atas kapal, tubuh Ibo sudah terpasang dengan jaket pelampung bewarna orange. Sepertinya ia masih trauma dengan goncangan ombak saat menuju ke Pulau Baling-baling. Sedangkan saya, Saya percaya dengan kemampuan paman. Meski ia berasal dari Makasar, tapi darah Suku Bajo masih mengalir kuat di dalam diri paman. Saya tahu kalau Suku Bajo itu sangat pandai dalam melaut. Bahkan, hidup orang Bajo banyak dihabiskan di laut daripada di darat. Kalau kata orang “banyak pelaut handal dari Suku Bajo.” Ya benar atau tidaknya pernyataan itu, analogi Saya mengatakan, itu memang benar apa adanya. Suku Bajo adalah pelaut handal yang dimiliki nusantara. Angin semakin deras mengalir, begitu juga dengan gulungan ombak. Pulau Baling-baling semakin jauh tertinggal. Di sebelahnya, terlihat Pulau Ponteng di kejauhan. Pulau ini memilik bentuk seperti Pulau Baling-baling. Tinggi menjulang layaknya sebuah bukit. Perahu yang kami naiki tiba-tiba berada di atas ombak. Lalu meluncur dengan cepat. Semakin lama, perahu semakin tinggi di atas gulungan ombak. Mungkin ketinggiannya mencapai 3 meter atau lebih. Kadang perahu di atas ombak dan diam untuk sepersekian detik lalu turun mengikuti alur ombak. Saat meluncur dan menyentuh perairan, bunyi keras keluar dari dasar perahu. Bunyinya sangat keras. Perahu kembali lagi naik ke atas gulungan ombak. Lalu turun lagi dengan cepat. Begitu terus kejadiannya secara berulang-ulang. Saya dan yang lainnya ketakutan. Hanya paman dan Kiki yang terlihat tenang. Sesekali mereka mengatakan untuk tenang, tapi percuma mereka melakukan itu. Ombak seakan mempermainkan kami. Kadang di atas, kadang di bawah. Lalu bergoncang ke kanan dan kiri sampai-sampai perahu miring seperti akan terbalik. Saya benar-benar panik. Meski begitu, Saya berusaha tenang. Mencoba melawan gerak perahu. Jika perahu terlalu miring ke kanan, Saya mencodongkan badan ke arah kiri. Begitu juga sebaliknya. Saya tidak melakukan itu sendiri. Ibo, Andi dan Ridel juga melakukan gerakan yang sama. Kami yang ketakuan saat itu bekerja sama tanpa diperintah. Hanya insting ingin hidup yang menggerakkan kami waktu itu. Di bagian belakang, paman memainkan tuas mesinnya. Saat perahu di atas ombak yang tinggi, paman membiarkan perahunya dibawa ombak. Ia tidak perlu menggerakkan tuas gas untuk membuat perahunya semakin laju. Hanya dengan dorongan ombak, perahu itu sudah meluncur cepat. Sedangkan di ujung perahu, Kiki duduk tenang memperhatikan arah depan. Detik berubah hingga beberapa menit, momen yang menakutkan itu akhirnya reda. Ombak sudah tidak besar seperti di bagian tengah tadi. Namun, sisa kejadian itu masih menggetarkan Saya. Bunyi jantung Saya berdegup kencang sampai terasa di dada. Perahu Paman mengarah ke desa Tumbak, Saya pikir kami akan balik ke desa itu. Ternayata tidak, paman membelokkannya menuju ke sebuah pulau. Kata Ridel, Pulau itu bernama Pulau Tumbak. Laju perahu semakin lama semakin lambat. Paman mengarahkannya ke tepian dermaga. Kiki melompat keluar lalu mengikat tali ke dermaga agar perahu tidak pergi terlalu jauh. Setelah aman, kami keluar satu persatu mengikuti Kiki. Hanya tinggal paman seorang yang di perahu. Dari dermaga langkah kami menanjak mengikuti kontur tanah. Saat berjalan, pepohonan menghiasi jalur yang kami jalani. Pemandangannya mirip dengan lirik lagu anak-anak yang pernah Saya dengar. Namun itu bukanlah pohon cemara. Saya tidak tahu namanya, yang Saya tahu, pepohonan itu terlihat rapih berderet. Seperti ada tangan yang ikut campur dalam menanamnya. Jejeran pepeohonan di Pulau Tumbak Sesampainya di puncak, sebuah makam menyambut kami. Bentuknya bertingkat dengan 4 anak tangga yang dilapisi porselen. Pada salah satu bagianya tertulis nama seseorang dalam lisan arab. Kiki bilang, pemilik makam tersebut adalah Syeikh Abu Sahmad Baddar. Yaitu orang yang dianggap sepuh oleh masyarakat desa Tumbak. Makam Syeikh Abu Sahmad Baddar Saya duduk melihat melihat pemandangan dari situ. Lagi-lagi, hamparan laut biru tersaji dengan apik. Kali ini Pulau Baling-baling terlihat di kejauhan. Lebih jauh lagi Pulau Ponteng tampak samar seperti tertutup kabut. Sebenarnya, Pulau Ponteng masuk dalam kunjugan rencana awal kami. Namun rencana itu gagal. Deras dan tingginya ombak menjadi pertimbangan. Paman juga tidak mau mengambil resiko. “Terlalu berbahaya”katanya. Sementara itu, Pulau Bohanga terlihat di sisi yang berlainan. Pulau itu terbilang mungilmungkin seukuran 2 kali lapangan badminton. Di atas pulau itu, berdiri sebuah bangunan yang berfungsi sebagai penginapan. Baru beberapa menikmati keindahan, kegaduhan terjadi. Ridel terlihat memeriksa isi kantongnya. Matanya berputar mencari sesuatu. Saya bingung apa yang dicari Ridel. “kunci mobil hilang,” katanya. Saya ikut panik. Bagaimana nanti Saya pulang. Setahu Saya, saat di desa Tumbak tadi, tidak ada kendaraan lain selain mobil kami. Kepanikan Ridel menular ke yang lainnya. Semua ikut mencari atau menerka. “Jangan-jangan jatuh di Pulau Baling-baling,” kata seseorang diantara kami. Jika begitu, Saya tidak mau balik ke Pulau Baling-baling. Ombaknya masih terlalu besar. Saya yakin Ibo atau Andi juga sependapat. Labih baik kami menginap dulu di rumah paman sampai kunci cadangan berhasil di datangkan. Pikir Saya saat itu. Ridel berjalan cepat menuruni bukit. Saya dan yang lain mengikutinya. Berharap, dengan menyusuri jalan setapak saat naik, kunci mobil yang dimaksud ketemu. Namun harapan itu sirna, kunci yang diidamkan tidak kunjung didapat. Pasrah, kami balik ke rumah paman di desa Tumbak. Ibo bergaya dengan kebanggan Garuda di dadaku Pulau Bohanga tampak di kejauhan Pulau Tumbak dari jauh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline