Nyaris lupa tanggal, entah hari apa ini tertulis, di tengah hiruk kota besar sedikit bersandar dengan kopi buatan pabrik heboh terdengar sebuah tragedi yang mereka bahas tentang ambrolnya sebuah jalan diantara lipatan lirih lagu dari FM yang sudah usang dengan kabel yang terurai dan melihat kearahku sembari menyadarkan bahwa ini adalah pagi yang didustai mendung yang membuat matahari seolah tak punya ruang di langit yang luas
Aku rasakan dayu bahasaku sisa renungan semalam tentang para akar yang bahkan mampu bekerja dalam diam dan mengikatkan diri diantara batuan yang juga diam menikmati genangan air yang juga diam, sekali lagi, dan..., menjadikannya tetap hidup dalam diam, ada sedikit ghibah dalam benak dengan diriku yang lain tidakkah kalian para pohon berebut pangan dengan rerumputan atau sesekali kalian pepohonan tidak khawatir tentang bagaimana besok pangan dapat kau temukan lagi dalam "diam" masih yang itu
Belum selesai ku pertanyakan apalagi berpikir akan oleh siapa terjawabkan rasa iri sudah bertamu di hati tanpa mengetuk pintu seperti kawan lama yang kunjungannya tak mengagetkan "ah... Kau..."
(aku sembunyi di balik pemakluman) aku saja yang bersolah dalam tingkah hampir selalu khawatir dangan besok, tak ada yang bisa ku janjikan, janji bagiku seperti barang mewah yang tak terbeli karena bagiku "kepastian" itu makhluk khayangan yang tak bisa kau obral sana-sini, sekali-kali tak bisa kau miliki hanya dengan modal usaha yang kau giatkan untuk merayunya turun ke bumi, seingatku hanya keberuntungan yang bisa merayunya turun ke genggamanmu dan keberuntungan itulah yang konon bersembunyi di antara usaha dan doamu
Adalah kita manusia yang sangat mengenal "putus asa" dan bahkan terlalu akrab padanya bukan dewa yang tak tau itu apa.
Salam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H