Jika diartikan secara bahasa, maka kata "habitus" yakni berasal dari kata "habit"yang berarti kebiasaan atau tabiat. Namun teori habitus yang dimaksud oleh Pierre Bourdieu disini bukanlah sekadar kebiasaan atau tabiat yang melekat dalam kepribadian seseorang. Bagi Bourdieu, konsep habitus menyiratkan sesuatu yang kompleks dan rumit. Habitus menurut Pierre Bourdieu yakni nilai- nilai sosial yang dihayati manusia sebagai individu, dimana hal tersebut tercipta melalui proses sosialisasi nilai- nilai yang berlangsung lama, sehingga kemudian mengendap menjadi cara berpikir. Dalam pernyataan lain, habitus dimaknai sebagai suatu konsepsi mental dari pemikiran manusia sebagai individu yang bertindak sebagai agen dalam tindakan sosial, dimana konsepsi tersebut terbentuk karena latar belakang sejarah atau lingkungan sosial yang kemudian terinternalisasi oleh individu. Artinya bahwa makna habit yang dimaksud bourdieu terbentuk dari eksternal seorang individu.
Kebiasaan seseorang itu bukan muncul dari individu itu sendiri (nature), akan tetapi hasil bentukan (nuture), baik dari lingkungan, situasi dan kondisi yang memang sudah dimiliki seseorang dari adanya proses penanaman nilai- nilai dari keadaan yang memang sudah ad di lingkungan sosialnya. Teori habitus dapat digambarkan yakni ketika lingkungan seseorang adalah lingkungan berkelas atau bourjuis, maka kebiasaan kita juga mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh kaum bourjuis. Kemudian kebiasaan tersebut terjadi proses sosialisasi yang berlangsung lama dan terinternalisasi dalam kehidupannya yang akan dibawa walaupun dalam lingkungan yang berbeda. Lalu habit tersebut termanifestasikan dalam pola fisik (sesuatu yang ditampilkan keluar seperti fashion dan mental yakni selera, dan kebanggaan.
Hal tersebut di atas, menurut penulis dapat dikaitkan dengan Teori Tabularasa oleh John Locke yang mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters)- (Disclaimer: konteks kertas putih tersebut dalam pandangan Islam bukanlah makna belum beragama, karena hakikatnya Ruh manusia sejak dalam kandungan telah menjadi seorang muslim (QS Al- A'raf ayat 172). Namun dalam hal ini konteksnya kebiasaan/sikap/tingkah laku). Walaupun kepribadian seseorang juga sangat dipengaruhi oleh aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Akan tetapi faktor sosial memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Walaupun tentunya tabi'at tidak menutup kemungkinan dapat berubah ketika seseorang secara sadar ingin merubahnya (QS Ar- Ra'd ayat 11). Kebiasaan (tabi'at) yang telah melekat dalam diri seseorang (embodiment) tentu tidak mudah untuk mengubahnya. Hal ini dikarenakan kebiasaan tersebut muncul dari proses konsistensi (tingkah laku/sikap yang sama) dan kontinuitas (dilakukan secara berulang-ulang) atas perilaku tertentu. Oleh karena itu, terdapat metode tahapan dalam pembinaan konseling.
Di dalam Al Quran misalnya kasus menghilangkan kebiasaan meminum khamr, al-Qur'an memulai dengan menyatakan bahwa hal itu merupakan kebiasaan orang-orang kafir Quraisy (Qs. An-Nahl. 16:67) dilanjutkan dengan menyatakan bahwa dalam khamr itu ada unsur dosa dan manfaatnya, namun unsur dosanya lebih besar dari unsur manfaatnya (Qs.Al-Baqarah, 2:219). Dilanjutkan dengan larangan mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk (Qs.An-Nisa', 4:43) kemudian dengan menyuruh agar menjauhi minuman khamr itu (Qs. Al-Maidah. 5:90). Sehingga berdasarkan pemaparan di atas menunjukkan bahwa pendidik (guru dan orang tua) dan lingkungan memberikan andil yang besar dalam pembentukan karakteristik anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H