Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Kereta Ekonomi

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

image

Pengalaman naik kereta buat saya bukan yang pertama kali. Entah sudah berapa kali saya bolak-balik menggunakan jasa transportasi yang satu ini. Mulai dari kereta jenis ekonomi yang butut, sampai penuh sesak, bisnis, juga eksekutif yang nyamannya pol. Tapi, mungkin ini pengalaman saya yang paling bermakna di antara pengalaman naik kereta saya yang lain. Cerita dimulai ketika saya dan teman saya yang pulang jalan-jalan dari Yogyakarta, bergaya ala backpacker amatiran. Mau tidak mau kami harus pulang saat itu juga pakai kereta ekonomi jurusan Yogyakarta – Bandung karena uang sudah habis, tak ada uang untuk menginap lagi, yang tersisa tinggal selembar nominal warna biru. Berbekal tanya menanya ke berbagai orang, naik Trans Yogya jalur 2B dari Ngabean, lalu transit di Joktenwetan berganti jalur 2A, akhirnya kami sampai di Stasiun Lempuyangan dekat Stadion Kridosono. Kami pun bertemu dengan dua orang backpacker yang mempunyai tujuan ke stasiun yang sama. Katanya mereka mau pulang ke Karawang, tapi sudah membeli tiket pulang seminggu sebelum hari keberangkatan. Oh yeah, bagaimana dengan kami berdua? Nyatanya kami belum beli tiket dan uang pun habis. Saya sudah mulai mempersiapkan kemungkinan terburuk kalau-kalau kami tidak dapat tiket: menginap di stasiun. Tapi alhamdulillah, kami pun mendapatkan kursi di kereta Kahuripan, kereta yang akan kami tumpangi, seharga Rp 35.000,-. Kereta akan berangkat sekitar pukul 21.23 yang mana adalah empat jam setelah kami membeli tiket. Selamat menunggu. Bisa dibayangkan bagaimana kami menunggu selama empat jam di stasiun. Duduk, mengobrol, melihat keadaan sekitar. Tapi tidak terlalu membosankan lho. Kami sempat bertemu dengan seorang ibu muda dan bayinya yang bernama Andreasyah. Umurnya baru tujuh bulan, lucunya pol. Mereka berencana pergi ke Solo. Bermain-main dengan bayi agaknya sangat menyenangkan. Andrea hanya sesekali tersenyum waktu saya bercanda dengannya, malu-malu sepertinya. Tapi dia akan sangat bersemangat, tertawa, berusaha untuk meloncat-loncat saat tubuhnya diberdirikan. Padahal untuk berdiri saja dia belum bisa.

Lalu kami bertemu juga dengan seorang penumpang yang ternyata tidak mempunyai tiket, tapi memaksakan diri untuk naik kereta. Katanya ia sudah cari tiket bus juga travel tapi sudah terlambat. Mau tidak mau ia harus ke Bandung apapun yang terjadi. Adiknya yang kuliah di Bandung sakit dan butuh bantuan dari kakaknya, yang kuliah di Yogyakarta, keluarga satu-satunya yang ada di pulau Jawa. Maklum, ia berasal dari Flores, NTT. Ia datang sekitar pukul setengah tujuh malam di Stasiun Lempuyangan dan sudah kehabisan tiket kereta. Syukur kami ucapkan karena kami sampai dua jam sebelumnya. Kalau tidak, mungkin kami akan punya nasib yang sama. Akhirnya ia nekat untuk naik kereta Kahuripan, jurusan yang sama dengan kami, ke Bandung. Bedanya, kami turun di Stasiun Rancaekek, ia turun di Stasiun Kiaracondong. Hati-hati ya mbak, mudah-mudahan mbak ngga kenapa-kenapa nanti di kereta. Oh ya, Stasiun Lempuyangan yang notabene-nya adalah Stasiun khusus untuk kereta ekonomi, keadaannya baik sekali lho. Stasiunnya rapi jali, tidak ada sampah, meskipun saya menemukan dua ‘sampah masyarakat’ yang merokok sembarangan di bawah tanda AREA BEBAS ASAP ROKOK besar-besar. Sepertinya terjadi perombakan  di perkeretaapian sini. Kalau di tahun-tahun sebelumnya tiket terus dijual walaupun jumlah kursi sudah habis, sekarang tiket yang dijual harus sesuai dengan kursi yang ada. Jumlah kursi habis, ya sudah, tidak bisa naik. Peraturannya seperti itu.

image

Tapi ternyata, masalah yang ini masih terjadi di sini, keterlambatan. Selama lebih dari satu jam keterlambatan harus kami lalui. Sekian puluh orang penumpang terakhir yang ada di Stasiun Lempuyangan sepertinya sudah sangat kelelahan menunggu datangnya sang kereta. Setelah kereta datang, stasiun pun sepi orang, tsk tsk. Selama perjalanan, kami berdua duduk berhadapan dengan tiga orang penumpang, satu pasang suami istri muda dan pria berusia sekitar tiga puluhan. Awalnya kami saling berbasa-basi menanyakan kemana, dari mana. Lama kelamaan bahasan mengarah ke kehidupan, sulitnya mencari sesuap nasi, kepemerintahan saat ini yang sangat tidak memihak orang kecil, seperti itu. Sebut saja saat sang pria usia tiga puluhan menyebutkan kejadian sebelum ia ke Yogyakarta, ia baru saja terkena PHK. Atau saat pria di sebelahnya menceritakan pekerjaan yang ia jalani dulu dan sekarang, hasilnya tak seberapa, berganti-ganti. Celotehan itu muncul begitu saja, dengan raut wajah mereka yang tenang, sambil sesekali tersenyum dan tertawa kecil. Kemudian berlanjut ke bahasan harga BBM yang naik, tapi ditunda. “Ah, sama saja bohong, toh harga barang-barang juga sudah naik. Biarpun harga yang naik ngga seberapa, tapi rakyat kecil seperti kami ini, kerasa betul bedanya.” Naik kereta ekonomi rasanya tentu tidak semenyenangkan kereta eksekutif yang punya pendingin udara, kursinya yang empuk, leluasa, bahkan ada televisi, pelayanan yang menyenangkan, dapat makanan ringan, ah, dan sebagainya. Sebaliknya, busa kursinya sudah aus, tak ada pendingin bahkan kipas sekalipun, jendela ada yang bisa terbuka ada yang tidak, bau asap rokok bisa tercium dimana-mana, pedagang bolak-balik lewat, kalau dapat jekpot seperti saya dan teman yang duduk di dekat toilet, selamat menikmati baunya sepanjang perjalanan yang tak sebentar. Tapi coba bayangkan hal lainnya. Perbincangan sederhana dengan penumpang lain yang kebanyakan adalah masyarakat menengah ke bawah, setidaknya membukakan mata hati untuk banyak-banyak bersyukur! Bukannya bermaksud untuk memberikan kasta-kasta tertentu, tapi ya memang kan itu yang terjadi. Ah bukan itu juga sih poin yang saya bahas. Maksud saya, terkadang harus banget yang namanya belajar dari mereka. Tersenyum dan tertawa kecil terhadap segala kesulitan hidup yang menimpa. Pedagang-pedagang yang bolak-balik menyusuri gerbong kereta sepanjang waktu, benar-benar tak kenal lelah. Pukul sebelas, dua belas, satu, tiga, subuh, hingga matahari keluar, para pedagang bergantian masuk ke gerbong. Coba bayangkan seperti itu setiap malam. Sampai-sampai suara mereka menjajakan dagangan menjadi lagu tidur saya, saking tak ada hentinya. “Nasi ayam panas lima ribu.” “Misonnya mbak. Kopi. Teh. Popmi mau mbak?” “Buat oleh-oleh klentingnya. Sepuluh ribuan aja.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline