Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Al-Fatih dan Mimpi 'ke' Roma

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berikut ini adalah tulisan saya mengenai buku Muhammad Al-Fatih 1453 karangan Felix Siauw yang sangat menarik untuk dibaca.

Seperti komentar teman saya terhadap buku ini, saya akui, buku ini memang oke sekali. Mulai dari penceritaan perlahan dari sebelum hingga setelah kejadian, penjelasan mengenai istilah-istilah yang ada, sip oke. Oh ya, anyway, buku ini menjelaskan tentang proses penaklukan Konstantinopel oleh ummat Islam yang dipimpin oleh Sultan Mehmed II yang bergelar Al-Fatih, salah satu sultan dalam Khilafah Ustmaniyah, atau bangsa barat menyebutnya the Ottoman Empire.

image

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi suasana perang menaklukan Konstantinopel"]

image

[/caption] Saya berkali-kali berdecak kagum saat membaca dan membayangkan apa yang terjadi saat itu, berkali-kali ber-“wow” terhadap segala sisi kepribadian Mehmed II, kecerdikan strategi perangnya dari halaman awal hingga tutup buku. Salah satu yang membuat saya tertarik adalah setting peperangan abad itu dengan segala pernak perniknya yang menarik, mulai dari jenis-jenis pasukan, senjata yang digunakan, hingga ke kapal perang. Hehe ngga tahu kalau orang lain sih, tapi kalo buat saya itu menarik banget :p Tapi yang paling menarik tentunya sang Panglima perang tertinggi, Sultan Mehmed II yang dengan wuah-nya dalam usia yang sangat muda yaitu 21 tahun 2 bulan dapat memimpin kurang lebih 250.000 pasukan menaklukan benteng Konstantinopel yang tidak pernah hancur selama 11 abad hanya dalam waktu 54 hari. Kok bisa? Percaya, harus percaya, itupun tidak diperoleh dengan mudah. Mehmed merupakan seorang yang banyak belajar tentang berbagai disiplin ilmu dan…
Mehmed remaja tidak pernah melalaikan shalatnya. Dia tidak hanya shalat tepat waktu, namun juga dia mengerjakannya secara berjama’ah di dalam masjid. Bahkan, sepanjang hidupnya, Mehmed tidak pernah masbuq atau ketinggalan salam salatnya. Terbukti, sejak usia baligh, Mehmed tidak pernah meninggalkan shalat rawatib, yaitu shalat sunnah yang mengikuti shalat fardhu. Selain itu, sejak remaja, Mehmed tidak pernah meninggalkan shalat tahajjud barang semalam pun. Bahkan, pada saat dia terbaring sakit pun, Mehmed selalu menyempatkan diri bangun pada sepertiga malam terakhirnya untuk bersimpuh sujud di hadapan Rabb-nya.” (hal. 302)

Malu saya bacanya.

“Kemenangan tidak akan bisa dicapai dengan mengandalkan kekuatan belaka, bukan pula karena kecerdasan dan stratgi perang, tetapi hanya akan tercapai dengan izin dan pertolongan Allah.” (hal.302)

Maka itu jelaslah mengapa Mehmed begitu rutinnya mendekatkan diri pada Allah swt. Selanjutnya, waktunya introspeksi diri. Menghadapi perang dengan skripsi aja udah keleyengan setengah idup, padahal belum apa-apa banget! Mengadapi masalah hidup yang gitu aja udah nangis, padahal belum apa-apa banget! Ah mau jadi apa ini? Bukan apa-apa dibandingkan Mehmed yang menghadapi lebih dari 30.000 pasukannya yang gugur di medan perang, dan masih ada sekian ratus ribu pasukan di belakang menanti komando darinya untuk terus maju menghadapi benteng lawan, dengan usia yang sama denganmu, Nak. SAMA, bahkan lebih muda. Hmm, mudah-mudahan ini menjadi penyemangat saat ini dan seterusnya bahwa perjuangan belum berakhir dan akan terus berjalan. Belum apa-apa! Anggaplah ini sebagai permulaan, menuju target selanjutnya, Roma, di masa yang akan datang. Insya Allah :) wallahu’alam bishshowab




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline