Lihat ke Halaman Asli

Memudarnya Hijau Kampungku

Diperbarui: 21 September 2017   17:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disebuah sudut kota di Provinsi Banten, tepatnya di Kota Tangerang Selatan atau yang biasa disebut TangSel. Kota dimana aku dilahirkan, dibesarkan, dan kota dimana aku singgah dan bertahan hidup sampai saat ini. Juga kota dimana aku menuntut ilmu sejak aku tidak tau apa-apa hingga apa yang tidak aku ketahui. Begitu banyak kisah yang ku lalui di kota TangSel, dari yang suka sampai yang duka.

Dahulu kota TangSel dipenuhi dengan rawa dan pepohonan. Begitu indah ku memandang setiap sudut kota ini yang penuh dengan pemandangan hijau. Udara yang sejuk pun dapat ku hirup setiap pagi dengan bebasnya. Tak banyak gedung yang menjulang tinggi dan rumah yang berdempetan.

Namun kini keadaan tersebut hanya tinggal sebuah kisah yang dapat dikenang. Semua berubah saat kota TangSel ini mulai terjamah oleh-oleh pihak pembangunan. Tak hanya rawa yang mulai hilang dari pandangan, pepohonan pun bisa dihitung jari. Begitu tega mereka merenggut semua anugerah untuk kami dipagi hari. Selamat tinggal anugerah untuk kami, oh hijauku.

Kini kota TangSel menjadi salah satu kota metropolitan yang berada di Provinsi Banten. Gedung-gedung mulai menjulang tinggi, rumah-rumah mulai berdempetan. Hampir tak ku lihat lagi hijauku yang dulu ku nikmati, kini malah menghadirkan polusi yang amad mengganggu lubang hidung kami. Taman bermain anak pun tak luput dari belenggunya.

Disamping ganasnya mereka pihak pembangunan, masih ada juga pihak yang masih peduli akan hijaunya kota ku. Beberapa titik masih bisa ku jumpai pemandangan hijau nan sejuk di kota TangSel. Taman bermain anak pun masih bisa ku jumpai dibeberapa titik kota TangSel ini. Tapi, haruskah aku pergi jauh untuk menikmati hijauku yang dulu dan sejukku yang lalu?

Begitulah keadaan kampungku saat ini, hijauku yang dulu mulai memudar. Kini yang ku pandang hanyalah gedung-gedung yang menjulang tinggi dan hingar bingar kendaraan penyebar polusi. Masihkah anak cucu kami merasakan sisa-sisa hijau kampungnya atau bahkan tidak lagi menjumpai hijau kampungnya?. Tapi apaalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Dengan penuh keterpaksaan, mereka harus merelakan hijau kampungnya dan melangsungkan hidup apa adanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline