Lihat ke Halaman Asli

Sudah 73 Tahun Wafadnya Sultan Aceh yang Terakhir

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

JAKARTA-GEMPOL, Hari ini, Senin, 6 Februari 2012 merupakan 73 Tahun Wafadnya Sultan Aceh yang terakhir. Sultan Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang terakhir atau Sultan ke-35.  Sultan Daud dinobatkan menjadi Sultan di Masjid Indrapuri, Indrapuri- Banda Aceh pada tahun 1874 yang dipaksa menyerah oleh Belanda pada tanggal 10 Januari 1903 dengan menyandera keluarga Sultan. Sultan dengan Keluarganya serta adiknya dan para punggawa lainnya dibuang Belanda ke Ambon, Bandung dan terakhir dipindah ke Batavia-Jakarta,  sampai wafatnya pada tanggal 6 Februari 1939. Sultan Daud merupakan cucu dari Sultan Mansur Syah, dimana sampai tahun 1884 ia merupakan Wali dari Tuanku Hasyim, anak dari Sultan sebelumnya yang juga merupakan pamannya yaitu Sultan Mahmud Syah.

Beliau kemudian mangkat di Batavia tahun 1939 dan dimakamkan di Pekuburan Umum Kemiri, Rawamangun Jakarta. Dari Permaisuri Teungku Putroe Gambar Gading beliau mempunyai dua anak kembar yaitu Tuanku Raja Cut Rayek (mangkat ketika masih bayi), dan Tuanku Raja Ibrahim yang disebut juga Tuanku Raja Manyak.

Dari isteri kedua, Pocut Manyak Cot Murong Sultan tidak mempunyai putra atau pun putri. Pocut Manyak Cot Murong inilah yang memelihara Tuanku Raja Manyak. Dari isteri ketiga Teungku Jam Manikam binti Tuwanku Mahmud (dimakamkan di Kedah) Sultan juga tidak mempunyai keturunan. Dari isteri keempat, Neng Effi, yang beliau nikahi dalam pengasingan Sultan memperoleh 4 putra dan 1 putri.

Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh. Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya pada bulan September 1893, secara pura-pura menyerahkan diri pada Belanda, setelah terjadi penyerahan, patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII, Mukim Ba'et ACeh Besar. Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Sementara itu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak mereka ada jatuh koraban sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka.

Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umar pun mengambil jalan pintas mengundurkan dini ke daerah Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum.

Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini, jatuh korban 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Pada bulan Oktober 1897, wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.
Pada bulan November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah). Dia mengadakan suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh lainnya.

Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta Uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah.

Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif secara bersama-sama menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh.
Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan terhadap Belanda.

Karena Belanda gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem, maka meraka menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Kemudian Belanda menyusun strategi baru yang sangat licik yaitu dengan menangkap keluarga-keluarga dekat Sultan. Mereka berhasil menangkap isteri Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong dan isteri Sultan yang bernama Pocut Cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap mereka, Belanda mengancam Sultan; apabila Sultan tidak menyerahkan dini dalam tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.

Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Hal ini menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903. Walaupun Sultan Aceh sudah ditangkap dan dibuang Belanda kepengasingan akan tetapi perjuangan rakyat Aceh terus menggebu-gebu menyerang pasukan Belanda. Selama perang kemerdekaan Bangsa Aceh, tercatat 4 orang Jenderal Belanda tewas di tangan para pejuang Aceh dan mengakibatkan Belanda menderitaan kerugian besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline