Lihat ke Halaman Asli

Merti Desa, Budaya yang Hampir Punah

Diperbarui: 4 April 2017   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

FOTO ANTARA/Andika Betha/mes/10

[caption id="" align="alignnone" width="416" caption=" FOTO ANTARA/Andika Betha/mes/10"][/caption]

Pernah mendengar kata merti desa? Suatu upacara adat yang mungkin tak asing bagi kita. Dimana Tradisi yang untuk saat ini masih terus lestari tak hanya menentramkan hati, namun juga memberikan kebanggaan atas ragam kekayaan budaya di negeri ini. Sebuah tradisi yang perlu dilestarikan, larena semakin kekinian, tradisi ini mulai di tinggalkan, acara ini masih tetap berlangsung, walaupuntidak banyak lagi yang melakukannya, khususnya di seputar Yogyakarta.

Merti desa, sering disebut juga bersih desa, hakikatnya adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup. Bahkan orang Jawa percaya, ketika sedang dilanda duka dan tertimpa musibah pun, masih banyak hal yang pantas disyukuri. Masih ada hikmah dan pelajaran positif yang dapat dipetik dari terjadinya sebuah petaka. Di samping itu, rasa syukur juga bisa menjadi pelipur sekaligus sugesti yang menghadirkan ketenangan jiwa.

Merti desa biasanya dilakukan pada bulan bulan tertentu, dalamm kalender jawa. Di dusun Jetis, Sidoagung, Godean, Sleman belum lama ini, tepatnya tanggal 27 Desember 2013 mengadakan Merti Desa. Yang di ikuti oleh seluruh warga di dusun Jetis. Baik muda ataupun yang sudah berumur. Dalam Meti Desa peran masyarakat dalam partisipasinya sangat menentukan proses dan kelestarian budaya ini. Karena secara langsung mereka melakukan kontak langsung dengan melaksanakan merti desa.

Acara dalam merti desa antara lain adanya arak-arakan yang akan diikuti oleh masyarakat. Ini adalh acara yangt sangat di tunggu oleh masyarakat sekitar. Dimana semua lapisan masyarakat menjadi satu, bermpadu dalam satu rombongan. Berjalan hingga sejauh 5 km. Dari padukuhan Jetis ke kecamatan Godean. Dalam rombongan arak-arakan ini terdapat macam-macam oragan, atau segmen. Ada penari jaipong, buto, pembawa patung raksasa, gunungan, petani-petani, serta rombongan anak-anak dari TK Nurul Iman yang berlokasi di dusun Jetis.

Makna dari merti desa yang di lakukan di padukuhan jetis ini menurut Bapak Sumarjono, S.H selaku kepala desa Sidoagung yaitu ungkapan rasa syukur, ungkapan pengharapan, dan ungkapan persaudaraan. Dimana rasa syukur itu di tujukan kepada Tuhan YME, yang telah memberikan begitu banyak limpahan rejeki selama tahun 2013 ini. Ungkapan pengharapan yang tersirat dalam kegiatan Budaya ini yaitu akan adanya kebaikan yang lebih di waktu-waktu mendatang dan perginya hal-hal buruk yang masih menaungi masyarakat dusun jetis ini, yang di simbolkan patung buto ijo. Lalu ungkapan persaudaraan yang di maksudkan oleh masyarakat jetis yaitu adanya gotong royong, saling toleran, guyup rukun antar masyarakat dusun jetis sendiri.

Acara merti desa ini mempunyai beberapa tahap. Yang pertama iyalah pengumpulan makanan berupa sego gurih yang di kumpulkan di dalam masjid. Lalu oleh pemuka adat setempat di-doani , lalu di bawa dengan menggunakan tandu yang terbuat dari bambu dan berhiaskan daun kelapa muda atau janur. Lalu diarak menuju kecamatan Godean bersama dengan arak-arakan yajng lain. Seperti buto ijo, dan gunungan. Arak-arakan sepanjang 100 meter, yang di ikuti oleh ±225 warga menjadi sebuah tonotnan tersendiri. Suara gamelan, alat musik tradisionalm drumband, menjadi sangat indah dan menymbolkan banyaknya kebudayaan di Indonesia.

Di pengujung acara, sedekah yang diujudkan dalam bentuk gunungan berikut sesajian dan beragam ubo rampe itu akan dibagikan kepada seluruh warga desa serta siapa pun yang hadir. Kadang, prosesi pembagian sedekah ini sengaja dilakukan dengan cara diperebutkan, sehingga menghadirkan atraksi yang begitu meriah sebagaimana yang berlangsung dalam Upacara Garebeg.

Lalu pada malam harinya diadakan tonotnan wayang untuk dinikmati warga dusun jetis dan sekitarnya, bertempat di depan rumah perangkat desa setempat (Dukuh). Selama satu malam suntuk. Acara ini bukan hanya sebagai simbolisasi tradisi, melainkan pengenalan budaya kepada masyarakat dan anak muda. Sehingga kebudayaan ini tetap lestari dan tetao menjadi bagian dari kebudayaan nasional (Bapak sumardjo, wawancara ketua panitia merti desa jetis, 27 desember 2013 pukul 20:10). Selain untuk pengenalan, acara merti desa seperti ini juga bermanfaat bagi warga itu sendiri, dengan adanya wayangan maka akan ada masyarakat dusun sekitar yang ikut menonton, sehingga bisa membuka lapangan bisnis untuk warga itu sendiri.

Selain menjadi perujudan rasa syukur, upacara merti desa acapkali juga terkait dengan ritual penghormatan kepada leluhur, sehingga menghadirkan berbagai ritual simbolik terkait dengan tokoh dan riwayat yang diyakini menjadi cikal bakal keberadaannya. Semuanya dilakukan dengan tetap memanjatkan doa dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan, ketentraman, kesejahteraan dan keselarasan hidup seluruh warga desa.

Silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa selira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline