Lihat ke Halaman Asli

RUU Intelijen Belum Saatnya Diberlakukan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

JAKARTA-Dalam beberapa bulan belakangan ini, berbagai kalangan dari aktivis,LSM, serta organisasi lainnya menyerukan penolakan terhadap RUU Intelijen. Berbagai acara diskusi dan seminar membahas masalah ini dengan menghadirkan para narasumber yang sangat berkopenten di bidangnya masing-masing.

Pihak DPR bersama pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen dalam waktu dekat ini. Setelah melakukan pengkajian konsekuensi RUU tersebut terhadap kebebasan pers di Indonesia, para kalangan jurnalis pun menjadi kebakaran jenggot karena khawatir terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.

Pertama, adanya kewenangan badan intelijen untuk melakukan intersepsi tanpa persetujuan pengadilan. Hal ini mengancam kebebasan pers, karena intelijen dapat melakukan intersepsi terhadap komunikasi pekerja pers dengan narasumber, yang bisa jadi bersifat rahasia. Pasal tersebut membuka peluang badan intelijen untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk memata-matai wartawan. Padahal, dalam menjalankan tugasnya, wartawan sering melakukan komunikasi dengan narasumber secara terselubung. Bahkan wartawan berkewajiban melindungi identitas narasumber konfidensial,jika diperlukan.

Kedua, adanya pasal mengenai pembatasan informasi merupakan ancaman bagihak untuk memperoleh informasi. Sebagaimana diamanatkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wartawan memiliki kebebasan dalam mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi. Dengan demikian, adanya pembatasan informasi intelijen berpotensi mengebiri hak dan kewajiban pers sebagaimana diatur UU Pers tersebut.

Sementara itu, UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin setiap orang, termasuk wartawan, untuk memperoleh informasi dari badan-badan publik.

Untuk informasi yang berkategori rahasia, telah diatur dalam pasal 17 UU ini. Dengan adanya pembatasan informasi itu, maka RUU Intelijen berpotensi mengebiri UU KIP yang baru mulai berlaku tanggal 30 April tahun lalu.

Ketiga, adanya pasal yang memberi wewenang badan intelijen negara untuk melakukan penangkapan selama tujuh hari merupakan ancaman terhadap seluruh warganegara, termasuk wartawan. Pasal ini dapat disalahgunakan untuk menangkap pekerja pers yang memiliki informasi yang dianggap membahayakan negara. Padahal, pekerja pers selalu bergumul dengan informasi, termasuk informasi yang terkait dengan kemanan negara. Penangkapan hanyalah wewenang aparat penegak hukum, bukan intelijen negara, dengan prosedur sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan hukum acara pidana lain yang berlaku.

UU Intelijen semestinya dibuat untuk mengontrol aktivitas intelijen agar tidak bertindak melampaui wewenang, bukan malah untuk untuk melegitimasi tindakan intelijen yang melampuai hukum. Undang-undang Intelijen seharusnya dibuat berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan negara hukum dengan tetap menghormasi Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Pers, dan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas maka belum saatnya RUU Inteligen ini di berlakukan di Indonesia, masih banyak hal-hal penting untuk di koreksi dan di perbaiki bersama, kata akhirnya memang di tangan DPR, apakah mau segera di Undang-undangkan atau di tunda memberlakukan RUU Inteligen ini yang telah membuat panas dingin segenap masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline