(KompasianaBaru-Jakarta) Bergulirnya Reformasi tahun 1998 dimana tumbangnya pemerintah orde baru memaksa penguasa saat itu Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 akibat bencana krisis politik dan ekonomi yang melanda negara Republik Indonesia. Kini kita memasuki era baru dengan demokrasi pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat sejak tahun 2004 dan tahun 2009 (dimenangkan oleh pasagan SBY-JK dan pasangan SBY-Boediono).
Gerbang lokomotif telah berjalan tetapi disana sini masih banyak kekurangan yang harus di perbaiki bersama. Kritik fundamental perkembangan demokrasi Indonesia dalam lebih 10 tahun belakangan ini adalah bahwa ia gagal mendeliver kesejahteraan bagi rakyat, demokrasi juga digugat karena telah berubah menjadi instrumen akumulasi kemakmuran elit politik, meninggalkan bagian terbesar rakyat menikmati kesengsaraan yang bahkan jauh lebih baik mengenaskan dibandingkan dengan periode orde baru.
Dalam 10 tahun ini juga kita dapat menyaksikan fenomena yang sebelumnya tidak pernah terjadi, seorang tukang becak menjadi anggota DPR, mantan-mantan narapidana menjadi anggota dewan, bupati, walikota bahkan gubernur, maraknya partai politik yang tumbuh subur seperti jamur dimusim hujan. Munculnya wajah-wajah baru anggota dewan yang sebelumnya sangat jarang bersentuhan dengan ranah politik kini sudah lazim berada di gelanggang senayan.
Proses penyebaran kekuasaan secara masif berupa desentralisasi, pemekaran wilayah, kelahiran berbagai lembaga-lembaga sampiran negara jauh untuk menghasilkan kesejahteraan kolektif, yang mengakibatkan semakin menguatnya semangat anti partai, anti parlemen dan anti pemilu sebagai institusi-institusi utama dalam demokrasi prosedural. Bahkan imbasnya terasa semakin jauh menguatnya spirit anti politik dan anti ideologi dalam masyarakat.
Dengan KTP Indonesia, seorang warga negara hanya diakui di kota tempat ia tinggal, keluar dari kota tersebut warga akan seperti orang asing yang berada dalam negara Indonesia. Negara seakan ingin menengaskan bahwa kita hanyalah warga sebuah desa dengan ruang lingkup gerak publik sebatas satu kabupaten atau kota, selebihnya adalah wilayah asing dimana hak-hak dan kewajiban publik sebagai warga negara tidak berlaku efektif. Sungguh ironis karena tingkat kepercayaan sosial dan politik pada KTP bahkan lebih rendah dari SIM karena dengan SIM kita boleh mengendarai di seluruh wilayah Indonesia, dari sabang sampai Merauke.
Belum lagi kasus-kasus korupsi yang melibatkan aktor-aktor kelas tinggi seperti bencana kasus koruptor Bank Century senilai Rp6,72 Tryliun, yang melibatkan Anggodo Widjojo dan saudaranya Anggoro Widjojo berhadapan dengan KPK serta tersangka elit politik lainnya yakni Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, membuat rakyat jenuh dan mengganggap demokrasi tidak membawa kesejahteraan bagi warga negaranya karena mudah saja uang puluhan Tryliun di korupsi.
Rakyat menunggu anggota DPR bekerja untuk menentukan hasil akhir pansus skandal Bank Century siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah dalam kasus korupsi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H