Lihat ke Halaman Asli

Loyalitas Jurnalisme Kepada Publik

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(KompasianaBaru-Jakarta) Pemilu sudah beberapa kali diadakan di Indonesia sejak tahun 1955 hingga yang terakhir tahun 2009. Presiden juga telah silih berganti dari Presiden Soekarno, Soeharto,B.J.Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan yang terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam Pemilu (Pemilihan Umum) semua media (televisi, surat khabar, radio, majalah, internet (media online), tabloid) perlu di analisa bagaimana sepak terjang mereka dalam melakukan peliputan, apakah netral ataupun tidak, untuk itulah perlunya suatu analisis terhadap media-media tersebut.

Peran wartawan/jurnalis/kuli tinta/pers juga dituntut seimbang dalam melakukan tugas dilapangan dan memberikan fakta yang sebenarnya, tetapi sering kali para pemilik media tersebut mengabaikan fakta yang ada dilapangan dan lebih mementingkan bisnis yang di kedepankan, siapa yang berani bayar mahal maka dia yang akan menang.

Disini uang yang berbicara, ada uang ada barang, seperti kasus makelar pajak, Gayus H. Tambunan, kita ketahui bahwa ada 98 persen perusahaan yang terkena masalah dalam pajaknya, hanya 2 persen saja yang mulus-mulus saja, makanya banyak terjadi penyimpangan, aneh khan seorang pegawai dirjen pajak, Gayus H.Tambunan dengan golongan 3 A bisa punya duit/uang sebesar 25 Milyar, bisnis ya tetap bisnis, anda terkena masalah mau jalan pintas maka harus melaui calo-calo seperti Gayus pegawai kecil tersebut, tetapi cara-cara ini kurang terpuji karena memakai jalan pintas.

kembali kepada peran media dalam melakukan monitoring media perlu dilakukan dalam era kebebasan ini sebagai implementasi dari mandat publik untuk melakukan pengawasan terhadap kebebasan pers. DI era pers bebas, di mana pers tidak lagi bertanggung jawab kepada pemerintah, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde baru, muncul pertanyaan :" Siapakah sebenarnya pemilik kebebasan pers tersebut?"

Kita ketahui kebebasan pers tersebut bukanlah milik pers, sebagaimana yang diklaim selama ini oleh pers sebagai milik mereka. kebebasan pers adalah milik publik karena publik adalah yang memiliki hak untuk tahu ( rights to know) memberi mandat kepada pers akan haknya tersebut.

Pers menjalankan mandat dari publik tersebut secara bertanggung jawab, jadi pers dalam pers bebas harus bertanggung jawab kepada publik dengan memenuhi hak untuk tahu publik yang sudah diserahkan kepada pers untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang benar dan akurat kepada publik.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Bill Kovach salah satu jurnalis terkemuka dari Amerika Serikat, "Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada publik." Dalam konteks seperti ini negara atau pemerintah tidak lagi merupakan kekuatan yang bisa mengontrol pers karena pers tidak menerima mandat dari negara melainkan dari publik.

Sekarang ini publiklah yang berhak mengontrol pers karena publiklah yang memberikan hak untuk tahu mereka kepada pers. Atas dasar hubungan antara pers dan masyarakat dalam pers yang bebas, media monitoring dibutuhkan untuk membantu terpenuhinya hak publik untuk tahu, membantu publik agar publik memperoleh informasi yang mereka perlukan dan bukannya disinformasi atau informasi-informasi sampah lainnya.

Media watch juga bisa menjadi wakil publik untuk mendapatkan hak-haknya disatu pihak dan membantu media massa untuk meningkatkan mutu jurnalismenya di pihak lain, agar hak-hak masyarakat untuk tahu melalui informasi-informasi yang bermutu terjamin. Jadi ada timbal baliknya pers/media memberikan informasi yang benar jangan berbohong dan publik mengawasi segala sesuatu yang telah dikeluarkan media tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline