Lihat ke Halaman Asli

Tanpa tenaga outsourching, beranikah bank syariah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Usai peresmian sebuah kantor cabang pembantu sebuah bank swasta nasional, saya mengajak berbincang petugas satuan pengamanan (satpam). Saya tertarik dengan keramahan dia. Keramahan khas para satpam di bank-bank yang memiliki layanan excellent.

Akhirnya muncul penegasan dari dia, bahwa dia bangga bekerja di bank swasta yang seluruh sahamnya masih dimiliki pengusaha nasional. Tak ada urun modal dari investor asing. Kebanggaan serupa juga diungkapkan oleh jajaran manajemen tersebut.

Namun satpam tersebut mengungkapkan kebanggaan yang lebih menjulang lagi saat saya tanyakan status kekaryawanan dia. “Saya karyawan tetap disini. Bukan karyawan outsourching,” katanya sembari menarik satu garis senyum.

Sempat kaget juga dengan pengakuan satpam itu. Kebijakan manajemen –atau bahkan mungkin oleh sang pemilik bank– yang tak mempekerjakan karyawan outsourching belakangan sangat jarang ditemui. Berdalih efisiensi, sangat banyak perusahaan yang lebih memilih untuk merekrut perusahaan outsourching untuk menyediakan tenaga kerja daripada merekrut sendiri tenaga kerja.

Di kesempatan lain, saya berbincang dengan kepala kantor cabang sebuah bank syariah. Dia mengeluhkan banyaknya anak buahnya yang ‘dibajak’ oleh bank syariah lain yang baru membuka kantor cabang di mana-mana.

“Memang sih, kepala cabangnya pamit ke saya untuk merekrut karyawan itu. Tapi masak sopir sayapun mau dibajak juga?” keluhnya.

Dari perbincangan tentang sopir, saya akhirnya tertarik untuk mengetahui tentang satpam di bank syariah itu sebab banyak bank yang menggunakan petugas outsourching untuk tenaga keamanan dan kebersihan. Ternyata sang kepala kantor cabang mengaku bank tempat ia bekerja menggunakan satpam outsourching.

Bahkan dia mengungkapkan, bahwa ada bank syariah lainnya yang mempekerjakan karyawan dengan sistem kerja kontrak ini tak hanya di bidang keamanan atau kebersihan saja.

Seketika saya membandingkan antara bank swasta konvensional yang lebih memilih tak merekrut satpam sebagai karyawan tetap dengan bank syariah yang cukup merekrut tenaga outsourching.

Apakah pertimbangan yang ditimang-timang oleh manajemen bank syariah tersebut sehingga memutuskan untuk merekrut tenaga outsourching?

Apakah semata-mata efisiensi dan efektifitas sebab bank syariah masih mungil sehingga harus menempuh outsourching karyawan guna mengejar keuntungan terlebih dahulu? Bila benar demikian, betapa naifnya pertimbangan sang manajemen.

Bahkan Burhanuddin Abdullah saat masih menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI) pernah menyerukan agar kalangan perbankan tak menggunakan tenaga outsourcing dalam mendongkrak roda bisnisnya. Menurut dia, kompleksitas industri perbankan menutut tersedianya SDM berkualitas dan dari hari ke hari tuntutan ini kian tinggi. Burhanudin berharap kalangan perbankan agar berani melakukan investasi SDM demi peningkatan kualitas layanan.

"Pola perekrutan tenaga kerja yang bersifat jangka pendek dengan sistem outsourcing maupun kontrak, dinilai tidak cocok bagi ketahanan perbankan nasional di masa mendatang. Peningkatan efisiensi serta pengetahuan pegawai merupakan sesuatu yang niscaya," papar Burhanuddin saat itu.

Dalih efisiensi dia nilai tidak tepat. Penggunaan sistem kontrak, menurut Burhanuddin lebih menunjukkan pola efisiensi bank yang tak mampu mempertimbangkan faktor investasi jangka panjang terhadap SDM. Selain itu, dalam jangka panjang, upaya efisiensi ini tidak akan mampu bertahan. Menurut dia, bank harus tetap melakukan penerimaan pegawai potensial dalam jangka panjang.

Penerimaan karyawan secara reguler dan bersifat jangka panjang dinilainya akan memberikan insentif tidak langsung bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan karyawan bank.

Bank syariah harus berani

Aktifitas operasional sebuah bank syariah dilandasi oleh sistem syariah. Nilai-nilai Islam menjadi ruh setiap lini aktivitasnya. Tak hanya mengoperasikan sistem perbankan yang sesuai syariah, namun tentu dalam pengelolaan seluruh lini perusahaannya juga dituntut untuk berlandaskan syariah.

Bila sistem keuangannya berlandaskan syariah, tentu manajemen sumber daya manusia (SDM)-nya mesti berlandaskan syariah. Dengan demikian, bank syariah tak hanya menjadi representasi sebuah institusi perbankan yang peduli halal-haram dan berkeadilan antara nasabah dengan pihak bank. Namun bank syariah juga menjadi lembaga dakwah bagaimana perusahaan memperlakukan karyawannya sesuai syariah.

Ingat, kepuasan karyawan menjadi kunci sukses perusahaan. Bila Richard Branson berupaya keras agar karyawan di Virgin Group bisa menikmati hidup memuaskan, maka demikian pula seharusnya bank syariah.

Undang-undang Republik Indonesia No 13/2003 tentang ketenakerjaan menetapkan bahwa oursourcing bisa diberlakukan untuk pekerjaan memproduksi barang-barang yang sifatnya produk percobaan, pertambangan, dan serta bukan untuk bagian produksi utama.

Menurut UU No 13/2003 tersebut, maka bagi kalangan perbankan syariah, tenaga operasional bank mulai dari front office dan back office harus melibatkan karyawan organik. Namun keberanian bank swasta nasional yang saya sebutkan tadi bisa dijadikan inspirasi untuk berani pula merekrut karyawan yang tak termasuk dalam aktifitas inti (core) bisnis perbankan.

Seseorang akan lebih merasa nyaman bila dia telah dianggap sebagai karyawan organik atau karyawan tetap di bank syariah. Saat menulis paragraf ini, saya teringat betul dengan senyum bangga satpam bank konvensional yang saya ajak berbincang.

Outsourcing masih menjadi jalan keterpaksaan bagi seorang karyawan atau buruh daripada mengganggur kerja. Ribuan buruh, elemen serikat karyawan maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) buruh menolak sistem yang tak menguntungkan buruh.

Sederet alasan penolakan dikemukakan. Pada peringatan May Day kemarin, (1 Mei 2010), penolakan terhadap outsourching juga tetap disuarakan! Muara dari tuntutan ini tak lain adalah tiadanya perlindungan yang bersifat mendasar terhadap hak-hak buruh, tidak adanya keadilan, serta tiadanya keberpihakan dan kesejahteraan yang semakin jauh dari kehidupan buruh alias karyawan.

Saya menilai, bank syariah harus berani mengambil kebijakan merekrut karyawan organik untuk bisa melakukan lompatan-lompatan dalam menjalankan bisnis keuangan. Bagaimana menjalankan manajemen SDM yang sesuai syariat, semestinya menjadi pemikiran dan segera diimplementasikan oleh bank syariah.

Outsourching membuat seorang tenaga kerja terpaku pada aktifitas yang sama terus-menerus dan mengekang keberanian untuk mencoba dan menjalani sebuah pekerjaan yang berbeda sama sekali dengan profesi yang dijalaninya hari ini. Banyak referensi yang menunjukkan bagaimana prestasi bisa diraih oleh seseorang dari pekerjaan kasar menapak naik hingga menjadi top management. Kisah itu saja terjadi di bank syariah.

Manajemen di perusahaan raksasa nasional, Astra, menyadari betul bagaimana manajemen SDM bisa memberi dampak sangat besar bagi perkembangan perusahaan. Mereka beranggapan impian seorang satpam sama pentingnya dengan impian seorang eksekutif.

Ingat, bank syariah masih membutuhkan puluhan ribu karyawan. Bukan tak mungkin akan ditemukan bankir handal dari kalangan satpam atau petugas kebersihan. Berani?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline