Pendahuluan
Pada tahun 1966-1998, yaitu pada masa kepresidenan Soeharto, atau disebut juga sebagai era Orde Baru. Pada era ini, pemerintah melarang beberapa buku sastra untuk dimiliki, disimpan, diedarkan, dan dibaca. Karya yang dimaksud yaitu buku- buku yang ditulis oleh para pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap oleh pemerintah berhubungan dengan penyebaran paham komunis pada para pembacanya. Selain buku, terdapat juga terbitan lainnya yang dilarang penguasa orde baru yang dianggap kritis terhadap pemerintah Tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan semangat para penulis untuk tetap menulis. Terlihat dari karya sastra pada angkatan 1966 sangat beragam. Ciri-ciri sastra Angkatan 66 adalah perjuangan anti tirani, protes politik, tipu daya, semangat bela keadilan, cinta tanah air, bangsa, negara, dan persatuan, membela keadilan, dan berisi protes sosial politik.
Tokoh-tokoh pada era ini terbagi menjadi beberapa angkatan. Tokoh pada angkatan 1966-1970 yaitu Taufiq Ismail, Nasjah Djamin, Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi, D. Zawawi Imron, Sapardi Djoko Damono, dan Yudhistira Ardi Nugraha Moelyana Massardi. Pada angkatan 1980 terdapat Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, Marga Tjoa, dan Mira Wijaya.
Pada artikel ini, penulis akan membahas tentang salah satu dari banyaknya tokoh kesusatraan pada era ini, yaitu Nasjah Djamin.
Alasan penulisan artikel ini yaitu untuk memaparkan tentang tokoh kesusastraan yaitu Nasjah Djamin agar nantinya pembaca dapat mengenal dan mengetahui beliau serta karyanya. Oleh karena itu, dalam artikel ini penulis akan menjelaskan sebagian kecil dari perjalanan hidup dan kaya-karya dari Nasjah Djasmin.
Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikan gambaran kepada para pembaca tentang salah satu tokoh sastra pada era orde baru, tepatnya pada angkatan 1966-1970.
Manfaat artikel ini bagi para pembaca yaitu untuk menambah pengetahuan mengenai tokoh-tokoh kesusastraan Indonesia pada kisaran tahun 1966-1970.
Pembahasan
Nasjah Djamin lahir di Perbaungan pada tanggal 24 September 1924, Sumatera Utara dengan nama asli Noeralamsyah. Ia yang sedari awal mempunyai bakat melukis pun senang sekali melukis pemandangan sekitar perkebunan serta pedati dan kusirnya. Hal tersebut pun menjadi bekal baginya untuk melanjutkan bakatnya di Jakarta dan bergabung para seniman di Jalan Garuda yang dipimpin oleh Pak Said. Di tempat tersebut terdapat kalangan pelukis yang hadir yaitu Affandi dan Basuki Rosobowo. Selain kalangan pelukis, terdapat pula kalangan sastrawan yang hadir yaitu Chairil Anwar, H.B. Jassin, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang. Dan di tempat tersebutlah, kemudian Nasjah Djamin berkenalan dengan para sastrawan dan mulai tertarik dalam tulis-menulis.
Beliau mengenyam pendidikan hingga MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sekolah Hindia Belanda yang setara Sekolah Menengah Pertama. Pendidikannya terhenti setelah pendudukan Jepang yang mengubah level MULO menjadi Shoto Chu Gakko. Perubahan MULO menjadi Shoto Chu Gakko tersebut membuat Nasjah Djamin menghentikan masa studinya, dan dikarenakan sistem Shoto Chu Gakko yang mewajibkan siswanya melakukan kerja bakti pula-lah uang membuat Nasjah Djamin tidak melanjutkan pendidikannya. Meskipun demikian, Nasjah tidak pernah berhenti belajar. Ia melanjutkan sendiri pendidikannya dengan mengunjungi sebuah perpustakaan di Medan dengan koleksi buku mayoritas berbahasa Belanda.
Perjalanan karir beliau dimulai pada tahun 1949, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai ilustrator. Selama bekerja disana, beliau sering mendengar diskusi antar sastrawan seperti Chairil Anwar dan Idrus, dan hal tersebut membuat beliau mulai tertarik pada kesastraan. Puisi yang berjudul "Pengungsi" yang terbit dalam buku berjudul Gema Tanah Air, sebuah kumpulan prosa dan puisi yang diterbitkan oleh H.B. Jassin pada masa kerja Nasjah sebagai illustrator di Balai Pustaka, menjadi bukti bahwa beliau mulai tertarik pada sastra. Setelah berhenti dari Balai Pustaka, pada tahun 1952, Nasjah Djamin kembali menggeluti bakatnya dalam bidang kesenian dengan menjadi pegawai rendah pada Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Ia bekerja di bagian seni rupa. Sembari bekerja di bidang kesenian, ia juga menjadi anggota redaksi majalah Budaya. Selama bekerja disana, beliau pun ikut menerbitkan beberapa karya , yaitu "Titik-Titik Hitam" (1956), "Sekelumit Nyanyian Sunda" (1957), dan "Jembatan Gondolayu" (1957). Ketiganya merupakan drama.