Lihat ke Halaman Asli

Adhi Rachdian

Orang biasa-biasa saja yang tak biasa dan luar biasa

Ke(tidak)benaran dalam Fotografi: Sebuah Konsep dan Visi Personal

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejalan dengan gaya hidup (life style) masyarakat dunia khususnya di kota-kota besar akibat perkembangan dunia teknologi, khususnya teknologi informasi yang ditandai berkembangnya media jejaring sosial di internet mendorong revolusi industri fotografi terutama 5 tahun terakhir ini.

Secara teknologi, peralatan-peralatan fotografi semakin lengkap dan canggih dengan harga yang semakin terjangkau oleh kebutuhan pasar. Era kini dimana kita dengan mudah melihat orang dijalan menenteng kamera SLR. Diera fotografi analog, pengguna ataupun fotografer yang menggunakan SLR sangat jarang ditemui. Tetapi saat ini, mulai dari siswa-siswa SMU, dan bahkan kecenderungannya banyak siswa-siswa SMP hingga (tentu saja)fotografer profesional yang menggunakan bukan hanya kamera poket atau prosumer melainkan SLR. Menurut Inigo B. Aguirre (Fotografer asal Spanyol) dalam wawancaranya kepada Tom Ang: "Nowadays, everyone thinks they are a photographer; that's the main problem. Everybody takes pictures, which is counter-productive to our profession because it has dramatically devalued it. Many people think that taking a picture is just about pressing a shutter, but there's so much more to it that that. I agree with Andre Kertesz, who said that in order to be a good artist you need to be a good technician".

Aguirre menyayangkan seseorang yang mengaku fotografer tetapi kemudian asal jepret padahal dia sendiri tidak mengenal kameranya sendiri. Kristupa Saragih (salah satu fotografer terkenal Indonesia) dalam twitternya juga menuliskan bahwa hasil foto yang baik adalah yang sesuai dengan konsep fotografer itu sendiri. Seorang Budhi Ipoeng (fotografer asal Bandung) dalam tipnya juga menjelaskan bahwa banyak orang bingung dalam memberi judul (bagian dari konsep) pada karyanya. "Si fotografer" (dalam tanda kutip) sendiri tidak tahu dia memotret apa, apalagi orang lain (penikmat foto, kurator, juri, dsb).

Pada akhirnya tidak ada salah dan benar dalam fotografi, semuanya kembali berpulang kepada konsep dan visi personal dari masing-masing "fotografer". berpulang kepada istilah fotografi yang menekankan melukis dengan cahaya dimana kata kuncinya adalah seni menampilkan suatu karya berbentuk foto dengan menggunakan cahaya. "Kebenaran" dalam fotografi sendiri pada hakikatnya tidak berbeda dengan dunia lainnya.

Paralel dengan perkembangan teknologi kamera dan asesorisnya, pasca-pemrosesan foto setelah foto tersebut diambil oleh sebuah kamera juga mengalami revolusi yang juga sangat cepat perkembangannya. Dulu, setelah fotografer memotret maka ada proses pencucian dan kemudian pencetakan foto agar kemudian menghasilkan foto sehingga kemudian dapat dinikmati. Proses "kamar gelap" untuk proses pencucuian filem negatif ini kemudian digantikan fungsinya oleh piranti lunak pada era digital saat ini. Banyak software yang tersedia yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan post-processing ini.

Perkembangan software dan industri desain grafis juga akhirnya mempengaruhi bagaimana sebuah foto kemudian "diolah" dan "dipermak" dan kemudian menjadi suatu hasil "karya foto". Karya foto ini kemudian batasannya menjadi abu-abu antara apakah karya tersebut hasil sebuah karya foto atau sebuah karya desain grafis? Pada awalnya, sebuah data exif akan menentukan sebuah file foto digital itu asli ataukah hasil manipulasi sebuah piranti lunak. Perkembangan terakhir ternyata data exif-pun bisa saja kemudian turut dimanipulasi.

Sebagian orang berpendapat bahwa dalam membuat sebuah foto tidak masalah kemudian kita ”retouch” sesuka hati sementara pendapat lainnya yang berseberangan secara ekstrim bakan ”mengharamkan” retouch sama sekali. Seseorang pengamat fotografi ada yangmenganalogikannya dengan masakan, foto yang kebanyakan ”diutak atik dengan piranti lunak”, ibaratmasakan yang kebanyakan bumbu. Kita tidak harus mendebatkan seserang yang hobi makan dengan pecin dan saus yang berlebih atau tanpa pecin sekalipun. Masing-masing orang memilih dengan bijak pilihannya masing-masing sesuai dengan gaya hidupnya, cara sehat menurut persepsi hidupnya masing-masing.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai masalah retouch ada hal yang sebetulnya sangat prinsip, itu tadi masalah konsep dan visi personal kita sendiri. Tidak ada bedanya fotografi dengan dunia lain, kejujuran adalah hal yang utama baik kejujuran buat orang lain maupun terhadap diri sendiri. Kembali ke pokok persoalan, tidak ada benar atau salah dalam fotografi, semua berpulang kepada sang fotografer. Ketika fotografer mengkonsepkan sebuah foto yang penuh dengan rekayasa dan mengatakannya baik dalam judul dan deskripsi foto tersebut justeru nilai foto tersebut akan semakin bernilai. Tetapi sebaliknya, tipuan pada diri sendiri maupun orang lain dengan mengatakan karyanya yang dahsyat itu orsinil apa adanya seperti yang terlihat dalam foto yang ditampilkan padahal sesungguhnya penuh dengan sentuhan dan rekayasa maka sudah pasti akan ketahuan cepat atau lambat. Orang yang tidak jujur maka akan dilibas oleh jaman. Kepada diri sendiri saja sudah tidak bisa jujur, apalagi terhadap orang lain.

Rekayasa sebuah foto terjadi bukan hanya di era foto digital tetapi sudah berlangsung lama sejak fotografi analog. Perbedaaan mendasarnya, dahulu sedikit orang yang bisa memiliki kemampuan maupun memiliki peralatan dark room sedangkan saat ini (fotografi digital), hampir semua orang bisa melakukan rekayasa (terlepas apakah hasilnya sempurna atau tidak).

Untuk sebuah kompetisi atau award karya foto bahkan beberapa kali ditemukan kasus ketidak patutan yang berkaitan dengan persyaratan lomba foto.Sebuah event foto jurnalistik berskala internasional bahkan pernah mengalami ”kecolongan” dengan memberikan award kepada salah satu karya foto jurnalistik dan ternyata foto tersebut seharusnya tidak layak masuk dalam kategori jurnalistik karena ada bagian gambarnya yang direkayasa. Beberapa waktu kemudian diketahui bahwa foto tersbut adalah hasil rekayasa sehinga award tersebut dibatalkan. Kebenaran akan terungkap, cepat atau lambat aspek apapun itu.

Sangat banyak terjadi, fotografer tidak mempedulikan konsep, yang penting jepret. Disaat foto itu akan ditampilkan baru memikirkan konsep dasarnya seperi judul, deskripsi, dllnya, akibatnya banyak ”pemaksaan” dan ”perkosaan” yang dilakukan terhadap karya fotonya tersebut. Demi sebuah lomba yang ”mengiming-imingi”sejumlah uang tertentu, karya fotonya ”dipermak” sedemikian hingga foto tersebut tampil dramatis, cenderung berlebihan kalaupun dibanding dengan subyek aslinya.Foto landscape yang flat tanpa awan menjadi memiliki awan yang indah. Pelangi yang sebetulnya tidak ada menjadi berwarna-warni dan sangat jelas. Refleksi digenangan air yang seharusnya tidak ada menjadi tampak bening dan lain-lain. Hal yang sangat berbeda jika retouch dilakukan untuk ”penegasan” detil foto, seperti pelangi yang kurang jelas dibuat menjadi lebih ”eye caching”, awan yang samar-samar dibuat menjadi lebih nyata, warna merah yang redup ”dihidupkan” menjadi lebih cerah dan seterusnya.

Ketika berbicara tentang konsep, diotak kita akan terbersit sesuatu yang rumit dan abstrak, padahal kenyataaannya sangatlah simpel. Sebelum memotret biasakan imajinasi kita membayangkan foto yang akan dihasilkan. Dengan cara ini biasanya karya foto anda akan berkembang ”liar” dan diharapkan dapat menghasilkan karya yang lebih sempurna. Kebanyakan orang memotret dahulu baru kemudian mencocokan konsep yang ada.Cara ini terbukti kurang efektifwalaupun tidak menutup kemungkinan hasil foto yang dihasilkan bisa saja diluar dugaan. Contoh yang paling aplikatif adalah ketika anda berkeinginan (konsep sederhana) untuk membuatfoto dokumentasi seseorang yang sedang sedih, pasti anda akan berusaha memotret terus orang tersebut hingga foto yang dihasilkan sesuai dengan angan-angan anda sebelumnya bukan?Bagaimana menampilkan mimik kesedihan, air mata maupun angle yang bisa menangkap mimik orang tersebut pasti akan anda pelajari sedatil-detailnya.Ketika gagal dengan dokumentasi pertama, anda akan mencoba dengan dokumentasi orang lain, dan terus berulang-ulang sehingga akhirnya prosedur ini dilakukan anda secara reflek tanpa harus berpikir langkah-langkahnya.

Lalu apa hubungannya konsep foto dan kecepatan memencet tombol rana (shutter)? Apakah orang yang "kelihatannya asal jepret" bisa langsung divonis tidak memiliki konsep? Tentu saja sangat berbeda, karena reflek sudah terlatih, kecepatan memencet tombol shutter dengan komposisi, bukaan dan setingan teknis lainnya sesuai konsep sudah sedemikian menyatunya sehingga respon jika ada momen yang diharapkan tidak akan terlewatkan begitu saja. Jadi cepat dalam memencet tombol rana, belum tentu asal jepret. dalam kehidupan, filosofi ini mungkin sesuai dengan "terlihat cepat oleh orang awam dalam bertindak, belum tentu gegabah dalam mengambil keputusan". Justeru tindakan inilah yang diharapkan pada jaman yang serba dinamis seperti sekarang ini, cepat, tepat dan padat.

Sebagai penutup,

Kata ”tidak” pada judul artikel ini hanya menegaskan sebuah ”legacy” ataukah ”negasi”.

Andalah yang berhak menilai.

Salam fotografi,

@dH1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline