Lihat ke Halaman Asli

Mengumpulkan Rindu

Diperbarui: 13 Oktober 2016   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Google

Gerimis di kotaku, mengalirkan air di sela-sela atap rumahku.

Gerimis di langit dadaku, mengalirkan rindu di setiap tarikan napasku

Aku menikmati rintik-rintik hujan dibalik jendela kamar sambil menghitung berpuluh-puluh rindu yang tercecer di kamarku. Sudah sepuluh tahun aku menahan rindu akan kasih sayang seorang lelaki, namun aku tak tahu siapa lelaki itu. Yang kutahu hanya merindukan sosok lelaki yang selalu disampingku. Tertawa, menangis, berdesah, berpeluh hingga mengasah amarah bersama. Aku mengumpulkan rindu itu hingga aku dapat menggambarkan sosok lelaki yang kurindukan. Bukan, bukan lelaki yang pernah bersamaku sebelumnya. Bukan lelaki yang meninggalkan aku saat aku hidup bergantung. Bukan lelaki yang tertawa dibalik sedihku. Bukan juga lelaki yang menyimpan banyak foto-foto senonoh wanita lain di telepon genggamnya. Apalagi lelaki yang menyimpan banyak minuman keras di kulkas rumahnya.

Entahlah, aku heran dengan lelaki yang pernah bersamaku. Jiwanya sakit padahal dia sungguh paham agama karena selama 10 tahun mengenyam pendidikan di pesantren. Keadaanku belum banyak berubah ketika lelaki itu meninggalkanku. Berusaha mencari nafkah untuk hidup aku dan kedua anakku. Seringkali teman berkomentar karena begitu lusuhnya penampilanku dan anak-anakku. Namun bagiku komentar mereka hanya sekedar kata yang tak punya arti apa-apa, tidak mengubah keadaanku. 

Kuintip jendela kamarku, hujan di sela-sela rumahku sudah berhenti maka aku pun harus menghentikan bayangan sosok lelaki yang kurindukan. Aku harus bergegas menjemput anak-anakku yang sudah bersekolah. Melaju dengan sepeda motor pemberian kakakku, menghantam genangan air di setiap jalan yang dilewati. Senyum anak-anak menghangatkan dadaku. Mereka berlari menghampiriku dan langsung saja menaiki motorku yang sengaja tak kumatikan. Mereka tak sabar sampai rumah. Dua lelaki yang bersamaku begitu akrab, sangat jarang mereka bertengkar. Ah rasa syukur kali ini dekat dengan hidupku.

“Mah, tukang sampah itu selalu perhatikan kita!” bisik Rio di telingaku.

Ya aku sadar atas pernyataan Rio. Aku mengenalnya. Dia bernama Dudung berumur 40 tahun. Dia bekerja sebagai petugas kebersihan di lingkungan rumahku. Dia selalu mengambil sampah-sampah yang berada di depan rumah warga untuk dimasukkan ke dalam mobil berwarna oranye. Dia menggunakan seragam berwarna oranye pertanda petugas kebersihan dengan status PNS. Beberapa kali aku sempat mengobrol dengannya. Tidak banyak bicara namun terkadang lucu dengan ocehannya.

“Neng, tong sampahnya kok wangi ya?” tanya Dudung padaku suatu sore ketika dia mengambil sampah di depan rumahku.

“Maksudnya apa Kang?” tanyaku heran.

“Iya tong sampahnya aja wangi, gimana yang punya tong sampah ini!”

Lucu namun garing terdengar. Kadang kuperhatikan gerak-geriknya yang begitu cekatan bekerja. Wajah yang sudah terlihat kerutan namun belum juga dipertemukan jodoh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline