Lihat ke Halaman Asli

ISIS No, NU Yes

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketidak adilan otoritas Internasional (PBB) pada beberapa negara yang berpenduduk mayoritas muslim ditengarai sebagai penyebab lahirnya radikalisme islam beberapa dekade terakhir. Perasaan kecewa bercampur marah kemudian terakumulasi yang berujung pada kemarahan yang subur akan kekerasan. ISIS (Islamic Stateof Iraq and Syria) adalah sebuah kelompok gerakan radikal yang juga termasuk diantara beberapa kelompok yang (katanya) lahir dari ketidak adilan global. Kelompok itu menganggap perlu mendirikan negara Islam dan akhir-akhir ini juga telah mulai merambah Indonesia.

Tentu reaksi kemarahan ini wajar-wajar saja, namun pertanyaannya apakah kemarahan yang diejawantahkan dengan kekerasan itu mampu menyelesaikan permasalahan? kemudian pertanyaan selanjutnya akankah Islam mengajarkan konsep kenegaraan yang paten? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diketengahkan guna memeberikan pencerahan kepada publik agar tidak mudah menelan hal-hal baru yang seolah-olah baik dan seolah-olah paling islam.

Pertama, Islam sebagai agama yang hanîf sama sekali tidak mengajarkan kekerasan. Perdamaian dan keluhuran etika adalah inti cita-cita Islam. Adapun adanya hukum diperbolehkannya berperang hanya ketika dalam posisi diserang sehingga umat islam terusir dari tempat tinggalnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Itupun masih dalam perdebatan ulama (Ikhtilaf ulama’). Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari Rasulullah saw. mengatakan berkali-kali larangan untuk marah (Lâ Taghdab). Bahkan dalam kisah Rosulullah sering kita dapatkan bagaimana beliau sabar dalam menghadapi kedzaliman kaum musyrik Quraisy. Kasih sayang, kesabaran dan kelembutan yang Rosulullah ajarkan hendaklah tidak hanya menjadi “novel” yang selesai dengan hanya dibaca. Namun juga harus dapat diteladani dalam keseharian kita.

Kasih sayang, kesabaran, dan kelembutan bukan berarti lemah atau pasrah. Namun hal itu merupakan wujud dari kematangan mental sehingga tidak gegabah di dalam menyelesaikan persoalan. Kekerasan kelompok ISIS dengan membabi buta membunuh beberapa orang non muslim yang didasarkan pada kebencian dan kemarahan terbukti tidak memberikan solusi pada masalah yang didera oleh masyarakat muslim (kususnya timur-tengah), malah menambah parah masalah.

Kedua, ISIS (Negara Islam Irak-Suriah) dalam pemerintahannya menggunakan pemerintahan Islam. Kemudian muncul pertanyaan, adakah konsep pemerintahan/negara dalam Islam? Pertanyaan ini menggelitik sekaligus menarik untuk dijawab. Islam adalah way of life manusiatidak mengenal pandangan yang jelas, pasti dan terperinci mengenai pemilihan dan pergantian pemimpin.

Dalam literatur sejarah Islam dapat kita dapati bagaimana para pemimpin awal Islam (Khalifah) dipilih dan diganti dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar dipilih dengan cara dibaiat/prasetia, Umar dengan cara cara sistem ditunjuk oleh pemimpin seblumnya (Abu Bakar), Utsman dipilih oleh sistem dewan pemilih (electoral college – ahl halli wa al-aqdli) yang beranggotakan tujuh orang. Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib dengan proses serba mendesak. Pada saat yang sama Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak-cucunya untuk mengisi jabatan Khalifah sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib. Kemudan pada berikutnya umat islam menggunakan sistem monarki.

Belum lagi perbedaan pendapat sarjana awal Islam mengenai konsep negara dan ciri pemimpin yang ideal. Misalnya perbedaan pendapat antara al-Farabi, Al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn taimiyah dan Ibn Khaldun. Jelaslah dengan demikian, bahwa gagasan ISIS untuk mendirikan Negara Islam tidaklah konseptual dan tidak benar-benar berdasar dari teks-teks Islam (al-Qur’an dan Hadis). Gagasan ISIS untuk mendirikan Negara Islam hanyalah “pemikat” untuk menarik umat Islam dunia agar terjerumus pada “jebakan” politik mereka saja.

Lalu bagaimanakah hendaknya kita menyikapi ISIS atau gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam lainnya? Sebagai insan akademis kampus tentulah kita harus lebih cermat didalam menerima hal-hal baru yang datang pada kita. Syaikh al-Ghalayaini dalam kitabnya Iddhotuan an- Nasyi’in mengatakan, seorang yang bahagia adalah orang yang menggariskan hidupnya di tengah-tengah. Penulis dapat ngartikan “tengah-tengah” perkataan al-Ghalayaini tersebut dengan tidak ekstrim kanan (fundamentalis) dan juga tidak ekstrim kiri (liberal). Dalam tradisi pesantren atau NU (Nahdlatul Ulama’) yang berhaluan ahlu sunnah wa al-jama’ah (ASWAJA) ada empat perinsip hidup yang cocok digunakan kita sebagai warga Indonesia dalam ber-aqidah, ber-syariah dan ber-syiasah. Perinsip tersebut adalah at-Tawazun (keseimbangan), at-Ta’adul/At-tawasuth (moderat), dan terakhir at-Tasamuh (toleran).

Ketiga perinsip di atas adalah saripati dari faham ahlu sunnah wa al-jama’ah (ASWAJA) yang dikembangkan dalam Nahdlatul Ulama' (NU), yang tak lain warisan ajaran para wali songo dan para ulama’ nusantara yang telah berhasil menyebarkan Islam dengan ramah tanpa harus menumpahkan darah. Terakhir penulis tutup dengan perkataan dari almarhum Gus Dur: kita berislam bukan untuk merubah sampean menjadi ente, saya menjadi Ane, dulur menjadi akhi, atau peci menjadi surban. Kita tetap bisa berislam namun tetap cinta pada tradisi, budaya dan adat istiadat Nusantara. Wallahu A’alam





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline