UU Desa tidak hanya melembagakan kebiasaan baik di PNPM, namun lebih dari itu, UU Desa telah melampaui apa yang selama ini ada di PNPM. Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas diformalkan dengan lebih apik.
PP 43 / 2014, Pasal 126 ayat 1 merumuskan tujuan Pemberdayaan masyarakat Desa adalah untuk memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Dengan tujuan seperti itu, pendamping desa akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendamping teknis.
Pendamping teknis seperti Fasilitator PNPM, selama ini hanya bersinggungan dengan sisi luar aktifitas pemerintahan desa. Penyusunan perencanaan pembangunan desa hanya selesai sampai tahap formalisasi RPJMDesa dan RKPDesa. Sampai disini, PNPM dan desa berjalan sendiri-sendiri. Tidak pernah ada singkronisasi rencana kerja anggaran pembangunan desa melalui APBDes.
Pada saat selesai penganggaran di MAD Penetapan Usulan, Fasilitator PNPM juga hanya fokus pd kegiatan yang didanai PNPM. Begitu juga pemantauan Tim Monitoring juga hanya fokus pada kegiatan PNPM. Tidak pernah ada pengawasan terpadu atas pelaksanaan pembangunan di desa. Fasilitator PNPM memang tidak bisa masuk terlalu jauh ke dalam sistem pemerintahan desa karena itu tidak diperintahkan PTO.
Konsep integrasi juga hanya sampai pada dokumen RPJMDesa dan RKPDesa. Upaya mengawal penyusunan APBDesa seperti mengorek sumber dan besaran pendapatan desa seperti mencari masalah, apalagi mempertanyakan alokasi hingga penggunaanya. Tindakan seperti itu bagi Fasilitator PNPM akan dianggap telah mengobok-obok desa. Begitulah keterbatasan wewenang pendamping teknis. Berbeda dengan pendamping desa.
Pada saatnya nanti, pendamping desa akan jauh melampaui Fasilitator PNPM. Mereka nantinya harus masuk lebih jauh kedalam tatakelola pemerintahan desa. Memastikan pemerintah desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan dan komponen desa lainnya, mengambil peran secara maksimal dalam kerangka pemberdayaan masyarakat.
Pasal 127 PP 43 / 2014 memberikan arahan lebih detail. Pendamping desa harus mengawal penyusunan perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal;
Jika Pendamping PNPM hanya fokus pada penganggaran BLM saja, maka pendamping desa harus mengawal konsolidasi keuangan desa melalui APBDesa. Sumber pendapatan desa, mulai dari PADesa, ADD dari APBN, ADD dari APBD, bagi hasil pajak dan retribusi, serta berbagai sumber pendapatan lainnya harus dikelola secara transparan dan akuntabel melalui APBDesa.
Bukan hanya memastikan pembangunan desa dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, namun juga penyelenggaraan pemerintahan desa juga harus demikian. Lebih dari itu, juga harus dikembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas tata pemerintahan desa. Terkait dengan semangat ini, komunitas Gerakan Desa Membangun (GDM) telah mengawali aksi dengan meluncurkan domain desa.id yang arahnya menjadi media transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa.
Terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, Pasal 86 UU Desa mengamanatkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan, meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.
Sistem informasi Desa dikelola oleh Pemerintah Desa dan harus memberikan akses kepada masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan. Dalam jangka panjang, penerapan teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menjadi pintu masuk bagi penerapan e audit dana desa.