Salah satu topik hangat terkait moda transfortasi di Jakarta saat ini adalah akan di ijinkannya kembali Becak beroperasi di DKI Jakarta. Ditengah pembangunan moda transfortasi Hitech (LRT, MRT, BUS WAY), peremajaan moda transfortasi yang tidak layak, becak akan kembali hadir,menjadi salahsatu pilihan moda transfortasi Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan akan kembali mengijinkan becak beroperasi di wilayah DKI Jakarta,setelah sebelumnya beberapa Gubernur terdahulunya "menghapus" becak dari Jakarta. Anies Baswedan beralasan, "Jakarta Milik Semua, semua warga Jakarta berhak hidup dan mencari pekerjaan di wilayahnya. Termasuk para pengemudi becak warga DKI Jakarta. Soal wilayah operasi becak, itulah yang akan diatur !". kebijakan ini menuai pro-kontra di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat DKI Jakarta.
Kembali munculnya becak di Jakarta, mengingatkan Penulis pada tahun 2001, ketika penulis mengadakan penelitian berjudul : "Transportasi Becak di Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1970-2000 (Studi Sejarah Angkutan Perkotaan) untuk kepentingan melengkapi persyaratan Guna Meraih Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hasil penelitian menunjukkan, kebijakan pemerintah daerah DKI Jakarta mengenai Becak, sejak tahun 1970-2000, tidak sama. Ada gubernur yang melarang becak secara tegas, ada pula gubernur yang membolehkan becak, namun tak lama kemudian melarang dengan tegas Becak di Jakarta. Tentu tiap gubernur punya alasan. Berikut beberapa ulasan dan simpulan dari skripsi tersebut.
Pelarangan becak di Jakarta, awalnya terkait dengan semakin banyaknya jumlah becak di Jakarta, yang beroperasi bebas di semua jalan raya. Hal ini disinyalir menggangu,menghambat kelancaran arus lalulintas karena becak bergerak lambat. Di DKI Jakarta sendiri becak yang pertama muncul diperkirakan pada tahun 1936, selanjutnya berkembang pesat menjadi angkutan umum penting bagi kota ini. Tujuh tahun Sejak kedatangan becak pertama di Jakarta, jumlahnya mencapai 3900 buah. Sejak itu jumlahnya terus bertambah hingga mencapai 123.000 pada puncaknya di tahun 1971. Sentral dalam keberadaan becak sebagai alat angkutan umum Kota adalah upaya penghapusan becak dari Jakarta sejak saat itu.
Kebijakan Gubernur- Gubernur Jakarat soal keberadaan Becak
Pada masa jabatan Gubernur Ali Sadikin (Bang Ali) 1966-1977, angkutan becak dinyatakan terlarang. Tangerang dan kota Jakarta dijadikan kota tertutup dari pendatang baru. Berbagai alasan disebutkan dalam penjelasan tentang keputusan pemerintah DKI Jakarta untuk menghapuskan becak dari wilayahnya.
Pada tahun 1970 ketika pembatasan operasi angkutan becak pertama kali dilakukan, "kemajuan teknologi dan pertimbangan kemanusiaan" merupakan alasan yang disajikan. Ketika DPRD DKI Jakarta memutuskan penghapusan becak pada 1972, mereka menyatakan bahwa langkah tersebut diambil "dalam rangka menjadikan kota Jakarta sebagai kota metropolitan". Setelah operasi besar-besaran, dari 123.000 becak, tinggal 38.000 becak.
Tahun 1977, Gubernur Ali Sadikin di gantikan Gubernur Tjokropranolo (Bang Nolly), 1977-1982. Gubernur baru dianggap longgar untuk urusan Becak. Sikapnya ini terkait dengan posisi beliau sebagai kader Partai Golkar yang ingin mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat. Tukang becak bisa leluasa lagi cari makan di Jakarta. Jumlah becak kembali membludak di Jakarta.
Tahun 1982-1987, Gubernur R. Soeprapto menggantikan Bang Nolly . Kampanye anti becak kembali di gaungkan. Penertiban di lakukan kembali. Jumlah becak kembali menurun.
Pengganti Gubernur R.Soeprapto adalah Wiyogo Atmodarminto (1988-1992) beliau menggalakan kembali kampanye anti Becak, seraya berseru bahwa pekerjaan tukang becak merupakan eksploitasi manusia atas manusia. Gubernur Wiyogo menertibkan becak, mengumpulkannya, lalu dibuang ke laut, untuk rumah ikan.