Lihat ke Halaman Asli

Raabiul Akbar

Guru MAN 1 Kota Parepare

Sumpah Pocong dalam Kasus Vina Cirebon dan Eky: Analisis Sosial-Religius Emile Durkheim

Diperbarui: 10 Agustus 2024   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://regional.kompas.com/read/2024/08/10/151700878/isi-lengkap-sumpah-pocong-saka-tatal-bersumpah-tak-terlibat-kasus-vina#:~:text=%22Saya%20bersump

Fenomena sumpah pocong telah menjadi bagian integral dari kepercayaan dan praktik masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Kasus yang melibatkan Saka Tatal dalam kematian tragis Vina di Cirebon dan Eky, telah membawa kembali ke permukaan diskusi tentang peran ritual ini dalam konteks sosial dan religius. Dalam artikel ini, saya akan mengkaji relevansi sumpah pocong dalam perspektif Teori Antropologi Agama yang dikemukakan oleh mile Durkheim (1858-1917), sosiolog yang terkenal dengan analisisnya tentang fungsi sosial agama dalam masyarakat.
Durkheim menyatakan bahwa agama adalah produk sosial yang berfungsi untuk memperkuat solidaritas dan kohesi sosial. Dalam kasus ini, sumpah pocong tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian konflik, tetapi juga sebagai upaya untuk menjaga harmoni dalam komunitas dengan melibatkan elemen-elemen sakral. Saya akan mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana ritual ini mencerminkan dinamika antara hal-hal yang dianggap suci dan profan dalam kehidupan masyarakat, serta bagaimana praktik ini terus bertahan di tengah modernisasi yang terus berkembang.

Mari kita bahas tentang istilah "suci" dan "profan" menurut mile Durkheim, konsep yang mungkin terdengar akademis, tetapi sebenarnya sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari kita. Durkheim, seorang sosiolog Prancis yang berpengaruh, menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bagaimana masyarakat membagi dunia mereka menjadi dua kategori besar: yang suci dan yang profan.
Suci adalah segala sesuatu yang dianggap istimewa, terpisah, dan memiliki makna khusus dalam kehidupan kita. Ini bisa berupa benda, tempat, atau ritual yang diakui memiliki kekuatan atau nilai spiritual yang tinggi. Misalnya, bagi banyak orang, tempat ibadah seperti masjid, gereja, atau pura adalah tempat yang suci karena di sana kita merasa lebih dekat dengan Tuhan atau kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Ketika kita berbicara tentang konsep suci dalam konteks agama Islam, ada banyak hal yang langsung muncul di benak kita. Mari kita jelajahi beberapa contoh yang relevan dan mendalam, mulai dari benda-benda suci, tempat suci, hingga ritual yang dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi.Pertama-tama, mari kita bahas benda-benda suci. Salah satu contoh paling jelas adalah Al-Qur'an. Dalam Islam, Al-Qur'an bukan hanya sekadar kitab, melainkan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Setiap huruf di dalamnya dianggap suci dan memiliki kekuatan spiritual yang mendalam. Itulah sebabnya umat Islam menjaga Al-Qur'an dengan penuh hormat---membacanya dalam keadaan bersuci (wudhu), menyimpannya di tempat yang bersih dan tinggi, serta tidak meletakkannya di lantai. Al-Qur'an tidak hanya dibaca, tetapi juga dihayati dan dipahami sebagai petunjuk hidup yang suci. Ketika seorang Muslim membaca atau mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an, ada keyakinan bahwa hati mereka akan disucikan dan jiwa mereka akan didekatkan kepada Allah.
Lalu, ada tempat-tempat suci yang memiliki nilai spiritual tinggi dalam Islam. Salah satu contohnya adalah Ka'bah di Masjidil Haram, Mekkah. Ka'bah adalah kiblat umat Islam di seluruh dunia, tempat di mana mereka menghadap ketika salat. Bagi seorang Muslim, mengunjungi Ka'bah dalam rangka haji atau umrah adalah salah satu pengalaman spiritual yang paling mendalam. Ka'bah bukan sekadar bangunan, tetapi simbol dari kesatuan umat Islam dan tempat yang dianggap sebagai rumah Allah di bumi. Ketika seorang Muslim melihat atau berdoa menghadap Ka'bah, mereka merasakan kehadiran Allah dan kesucian tempat tersebut. Di sini, kita melihat bagaimana tempat suci ini menjadi pusat spiritual yang menghubungkan umat Islam dengan Tuhan mereka.
Selanjutnya, kita bisa melihat ritual-ritual suci yang menjadi bagian penting dari kehidupan seorang Muslim. Salah satu ritual yang paling utama adalah salat. Salat bukan hanya rutinitas harian, tetapi juga momen di mana seorang Muslim berkomunikasi langsung dengan Allah. Setiap gerakan dan bacaan dalam salat memiliki makna spiritual yang dalam, dan dilakukan dengan khusyuk dan penuh kesadaran akan kehadiran Allah. Salat lima waktu sehari bukan hanya untuk menunaikan kewajiban, tetapi juga sebagai cara untuk membersihkan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan memelihara kesucian hati. Bagi banyak orang, salat menjadi saat yang suci di mana mereka merasa paling dekat dengan Tuhan, terlepas dari segala kesibukan duniawi.
Mungkin Anda pernah merasakan sendiri, ketika berada di dalam masjid yang penuh dengan kedamaian atau ketika memegang mushaf Al-Qur'an dengan penuh rasa hormat. Atau mungkin saat menjalankan salat, Anda merasakan kedamaian dan ketenangan yang seolah-olah menyelimuti jiwa Anda. Semua ini adalah contoh nyata dari bagaimana sesuatu yang dianggap suci memiliki kekuatan untuk mengubah suasana hati dan pikiran kita, membuat kita merasa lebih dekat dengan Tuhan, dan mengingatkan kita akan keberadaan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering terbawa oleh rutinitas duniawi, tetapi melalui benda-benda, tempat, dan ritual-ritual yang suci, kita selalu diingatkan untuk kembali kepada yang suci, kepada Allah. Di sinilah kita bisa memahami dengan lebih baik bagaimana konsep suci dan profan dalam Islam bukan hanya sekadar teori, tetapi sesuatu yang nyata dan terasa dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim.
Sebaliknya, profan adalah segala sesuatu yang biasa-biasa saja, duniawi, dan tidak memiliki makna spiritual khusus. Ini adalah aspek kehidupan sehari-hari yang kita anggap normal dan tidak istimewa. Misalnya, pekerjaan sehari-hari, tempat kita berbelanja, atau kegiatan rutin yang kita lakukan setiap hari dianggap sebagai bagian dari dunia profan.


Nah, apa yang menarik dari konsep Durkheim ini adalah bagaimana masyarakat kita selalu mencari keseimbangan antara yang suci dan profan. Misalnya, ketika kita menghadiri upacara pernikahan, kita melihat bagaimana momen-momen tertentu diangkat menjadi sesuatu yang suci melalui ritual dan simbolisme, meskipun pernikahan itu sendiri adalah bagian dari kehidupan profan kita. Ini adalah cara kita memberikan makna lebih dalam pada aspek-aspek kehidupan yang mungkin terlihat biasa.
Durkheim juga menekankan bahwa apa yang dianggap suci atau profan bisa berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Apa yang kita anggap suci, mungkin di tempat lain dianggap profan, dan sebaliknya. Inilah yang membuat konsep suci dan profan ini sangat dinamis dan relevan dalam memahami bagaimana kita sebagai manusia memberikan makna pada dunia di sekitar kita.
Ketika kita berbicara tentang sumpah pocong, misalnya, kita melihat bagaimana ritual ini dianggap suci oleh mereka yang percaya, meskipun di luar konteks itu, bagi orang lain, mungkin ini hanya tampak seperti bagian dari dunia profan. Namun, justru dalam perbedaan inilah kita dapat melihat kekayaan budaya dan bagaimana setiap komunitas memiliki cara unik untuk membedakan dan menjaga keseimbangan antara yang suci dan profan dalam kehidupan mereka.
Jadi, melalui konsep suci dan profan ini, Durkheim sebenarnya membantu kita untuk lebih memahami bagaimana kita memberikan makna pada kehidupan kita, bagaimana kita menciptakan ruang untuk hal-hal yang kita anggap istimewa, dan bagaimana kita tetap terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, bahkan di tengah-tengah kesibukan dunia yang tampaknya profan.

Dalam masyarakat kita, sumpah pocong telah menjadi lebih dari sekadar ritual tradisional; ia telah meresap menjadi simbol yang mencerminkan ketegangan antara yang suci dan yang profan. Ketika seseorang melakukan sumpah pocong, ia tidak hanya berjanji di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan kekuatan gaib yang dianggap mampu memberikan keadilan yang tidak dapat dijangkau oleh hukum duniawi. Inilah yang membuat sumpah pocong memiliki kekuatan yang begitu besar dalam mempengaruhi perilaku dan keyakinan masyarakat. Ritual ini menunjukkan bagaimana sesuatu yang dianggap sakral mampu mengendalikan aspek-aspek profan dari kehidupan sehari-hari, seperti konflik sosial atau tuduhan yang belum terpecahkan.
Namun, di tengah modernisasi yang semakin pesat, di mana teknologi dan hukum formal seolah-olah mulai menggantikan peran tradisi, sumpah pocong tetap bertahan. Mengapa demikian? Mungkin karena ritual ini memberikan jawaban yang lebih bersifat emosional dan spiritual dibandingkan dengan sistem hukum formal yang kadang-kadang dianggap kering dan tidak personal. Masyarakat, terutama di pedesaan, masih percaya bahwa kekuatan spiritual yang dihadirkan dalam sumpah pocong lebih efektif dalam menegakkan keadilan daripada sekadar mengandalkan bukti fisik atau pengadilan. Hal ini menunjukkan bagaimana unsur-unsur tradisional tetap memiliki tempat yang penting dalam struktur sosial masyarakat kita, bahkan ketika dunia di sekitar kita berubah dengan cepat.
Sumpah pocong juga berfungsi sebagai alat untuk menjaga kohesi sosial di tengah-tengah masyarakat yang mungkin rentan terhadap perpecahan. Ketika sebuah komunitas menghadapi tuduhan atau konflik yang berpotensi menghancurkan, ritual ini bisa menjadi jalan tengah yang diterima semua pihak. Dalam konteks ini, sumpah pocong bukan hanya tentang kebenaran individu, tetapi tentang menjaga harmoni dan ketertiban dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, ritual ini mencerminkan kekuatan agama dan tradisi dalam memperkuat solidaritas sosial, seperti yang diungkapkan oleh Durkheim.
Di balik ketahanan praktik sumpah pocong ini, terdapat kenyataan bahwa masyarakat kita masih sangat menghargai nilai-nilai yang dianggap suci dan tidak dapat diganggu gugat. Meski dunia terus berubah, dan norma-norma sosial terus bergeser, kebutuhan akan sesuatu yang suci sebagai landasan moral dan spiritual tetap kuat. Sumpah pocong, dengan semua simbolismenya, menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat kita menggabungkan unsur-unsur tradisional dengan realitas modern, menciptakan keseimbangan antara yang lama dan yang baru.

Dalam analisis Durkheim, agama berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan masyarakat melalui pengakuan terhadap hal-hal yang dianggap suci. Sumpah pocong, dalam konteks ini, adalah manifestasi dari konsep tersebut. Ritual ini tidak hanya mengungkapkan keyakinan masyarakat terhadap kekuatan gaib, tetapi juga memperlihatkan bagaimana praktik-praktik tradisional dapat bertahan dan bahkan berkembang di tengah modernitas yang terus berubah. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat, agama dan kepercayaan tradisional masih memegang peran penting dalam membentuk norma dan perilaku sosial.

Implikasi dari penerapan teori Durkheim pada kasus sumpah pocong ini adalah pemahaman bahwa di balik setiap ritual tradisional terdapat fungsi sosial yang lebih dalam. Ritual ini tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat kohesi dan solidaritas sosial. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, praktik-praktik seperti sumpah pocong dapat dilihat sebagai upaya masyarakat untuk mempertahankan stabilitas sosial dan moral melalui cara-cara yang telah terbukti efektif secara historis.

Akhirnya, sumpah pocong tidak hanya relevan dalam konteks lokal, tetapi juga menjadi cerminan dari dinamika yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan esensi dari nilai-nilai tradisionalnya. Bagi pembaca yang tertarik dengan bagaimana elemen-elemen sakral masih berfungsi dalam struktur sosial modern, kasus ini menawarkan pandangan yang mendalam tentang peran agama dan tradisi dalam mempertahankan kohesi sosial, sebagaimana telah dianalisis oleh mile Durkheim lebih dari satu abad yang lalu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline