Sudah sekian kali Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di daerah kami, Lombok Barat, mengedarkan surat yang menerangkan soal perpanjangan masa belajar dari rumah siswa. Pengumuman itu biasanya keluar sehari sebelum masa perpanjangan berdasarkan surat sebelumnya habis. Sekolah belum bisa di buka, daerah ini masih zona merah. Angka pasien Covid-19 tinggi, bahkan tertinggi kedua di NTB setelah Kota Mataram. Belum ada tanda-tanda angka landai.
Praktis sudah sekitar empat bulan sudah anak saya libur, eh maksudnya belajar dari rumah. Sulung saya sekolah di salah satu sekolah dasar terpadu yang menerapkan sistem full day. Corona membuat sekolah diliburkan. Pemerintah khawatir dengan penyeberan virus ini melalui anak-anak. Mereka memang punya imun kuat, namun mereka adalah perantara virus yang potensial oleh karena mereka aktif berinteraksi dengan teman-teman mereka di sekolah.
Sebagai orang tua, saya tentu saja tidak hanya memikirkan bahaya virus ini. Yang lainnya, saya berpikir soal pendidikan anak saya yang terganggu, meskipun belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Bagi saya, dalam konteks anak, belajar di sekolah tetaplah penting. Di sekolah mereka berinteraksi sosial dengan guru dan teman-teman mereka. Di sekolah mereka bisa praktik secara luas langsung tentang solidaritas, kepemimpinan, akhlak, dan lain-lain, yang, mohon maaf, agak sulit mereka dapat di rumah dengan pergaulan yang terbatas.
Karena Corona, dimulailah belajar dari rumah. Sekolah berubah menjadi layar gadget berukuran kecil tempat tiap pagi anak saya menyetor hafalan Alquran. Di WA group wali siswa, guru anak saya rutin menyapa anak-anak dengan pelajaran berdasarkan tema tertentu untuk dikerjakan. Pagi hari guru memberikan materi pelajaran yang harus dibaca atau ditonton siswa, lalu disertai dengan soal-soal yang harus dikumpulkan pada sore atau malam harinya. Pengumpulan jawaban tentu saja lewat online. Saya sebisa mungkin menemani anak saya belajar dari rumah.
Suatu ketika, anak saya menyampaikan bahwa dia bosan belajar dengan model begini. Dia bosan nyetor hafalan lewat perangkat gadget. Belajar mengerjakan tugas yang pola pengerjaannya itu-itu saja. Ia bilang rindu teman-temannya. Rindu guru-gurunya. Rindu sekolahnya. Kebosanannya ini saya tolerir. Sebab memang belajar seperti ini membosankan, apalagi bagi anak yang terbiasa aktif di luar rumah. Dia selalu semangat ketika masa belajar dari rumah mau berakhir, namun agak kecewa karena "libur"kembali diperpanjang berdasarkan surat edaran baru. Orang tua mesti punya cara-cara tidak bisa untuk menekan rasa bosan anak menghadapi situasi seperti ini. Mereka harus menyisihkan waktu yang cukup untuk menemani anak di tengah kesibukan oleh pekerjaan dan lainnya.
Yang mau saya garisbawahi dari cerita di atas adalah beberapa hal. Pertama, pemerintah harus memahami kondisi psikis anak dengan model belajar dari rumah ini. Karena pandemi masih berlangsung hingga waktu yang tidak pasti, pemerintah justru harus membuat kebijakan yang pasti soal pendidikan. Jika dari hasil evaluasi saat ini model belajar yang sedang diterapkan tidak efektif, maka segera buat terobosan lain agar kebutuhan interaksi sosial anak tetap berlangsung dengan baik.
Seperti ekonomi, pendidikan juga butuh kepastian. Tidak boleh dibiarkan mengambang yang menyebabkan anak maupun guru bingung. Saya beri contoh soal masa belajar dari rumah. Ketimbang terus memperbaharui surat edaran "libur", pemerintah mestinya memutuskan saja, anak-anak masuk sekolah tahun ajaran baru itu awal tahun depan. Biar pasti. Jika sudah begitu, orang tua bisa mengambil ancang-ancang bagaimana berkomunikasi dan belajar bersama anak sampai awal tahun mendatang itu. Misalnya saja, orang tua bisa merancang kegiatan belajar bersama komunitas di sekitar rumah dengan pola yang sama dengan belajar di sekolah.
Dengan jeda yang cukup lama, orang tua bisa berkumpul dengan orang tua siswa yang lain se-RT atau se-lingkungan, untuk menyusun dan mempraktikkan kegiatan belajar bareng yang riang dan menyenangkan. Sekarang ini terkesan maju mundur. Semuanya diliputi ketidakpastian. Akibatnya, bukannya aktif bergerak merancang kreativitas baru bersama anak, orang tua hanya bisa menunggu dan menunggu surat edaran baru tentang kapan masuk sekolah.
Kedua, atau terapkan belajar di sekolah dengan berbasis zona. Di daerah seperti daerah saya, tidak semua kecamatan tercatat sebagai zona merah Covid-19. Ada juga kecamatan zona kuning, bahkan hijau. Nah, untuk zona hijau ini sepertinya bisa diberikan relaksasi, tentu saja dengan pengetatan protokol kesehatan. Saya kira terlalu menyangsikan sekolah bisa menerapkan protokol kesehatan dengan baik adalah tindakan yang keliru.
Ada banyak contoh dimana anak-anak justru bisa belajar dan mempraktikkan pola hidup bersih dan sehat justu di sekolah, bukan di rumah. Sekolah (Di zona hijau, zona aman) harus diberi kepercayaan menentukan cara belajar di tengah pandemi ini. Bisa dengan mengatur jumlah siswa yang masuk (pola giliran pagi dan siang), bisa dengan mengatur jarak kursi, bisa dengan menyesuaikan kurikul sekolah supaya anak tidak sering berkumpul, dan lain-lain.
Saya salut dengan salah seorang pimpinan pondok pesantren di daerah kami yang membuat catatan usulan kepada pemerintah agar pondok pesantren tetap bisa melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di madrasah di tengah situasi pandemi. Sang kyai ini sampai merinci dengan detail bagaimana dengan santri dijemput dari rumahnya menggunakan kendaraan khusus yang disediakan madrasah, pola karantina dimana dalam jangka waktu tertentu wali murid tidak boleh datang menjenguk dan lain sebagaimanya.