Lihat ke Halaman Asli

Gempa Lombok, Jangan Abaikan Penanganan Psikis Anak

Diperbarui: 31 Juli 2018   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid yang rusak (Dok.Pribadi)


Salah satu rumah di Obel-Obel Sambelia Kabupaten Lombok Timur NTB yang rusak karena gempa (Dok.Pribadi)

Rumah yang rusak di Sembalun (Dok.Pribadi)

Gempa bumi berkekuatan 6,4 SR yang terjadi, Minggu 29 Juli lalu membuat rumah-rumah penduduk di wilayah Sembalun dan Sambelia Kabupaten Lombok Timur, NTB, hancur. Saya mengunjungi dua kampung yang terdampak gempa paling parah ini kemarin bersama rombongan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dalam rangka menyalurkan bantuan. Rombongan kami sampai di lokasi sekitar pukul 16.00 Wita. Pagi harinya Presiden Joko Widodo datang ke lokasi gempa menggunakan helikopter.

Bantuan diturunkan di sejumlah titik pos penanganan bencana. Yang pertama di kantor Desa Belanting Kecamatan Sambelia. Jaraknya sekitar 3 jam perjalanan dari Mataram. Yang kedua di wilayah Obel - Obel di kecamatan yang sama. Obel obel termasuk kampung yang terkena dampak paling parah. Masuk di kampung ini, anak-anak kecil menyambut dengan wajah sedih. Mereka sedang bermain di halaman masjid yang rusak. Tidak jauh dari masjid, rumah mereka roboh.

Yogi namanya. Umurnya 11 tahun. Bocah laki-laki ini adalah korban gempa yang selamat. Di bagian lengan kiri dan kanan terdapat luka. Katanya itu luka tertimpa reruntuhan material rumah saat gempa. Ada temannya yang berbasib Malang, meninggal dunia karena tertimpa tembok rumahnya. Yogi tidak terlalu bersemangat saat saya berikan jajan donat yang saya ambil dari mobil.

Teman-temannya yang lain juga sama. Ada keceriaan yang hilang dari wajah mereka. Yogi bilang sekolahnya masih diliburkan karena memang rusak parah. Catatan resmi pemerintah daerah, belasan orang meninggal dunia, puluhan lainnya luka-luka. Namun korban diperkirakan bertambah menyusul proses evakuasi yang masih berlangsung.

Dari catatan saya, ini adalah kali kedua warga Sambelia dan sekitarnya mendapat bencana besar dalam kurun beberapa tahun terakhir. Tahun lalu banjir bandang menerjang dan menghanyutkan ratusan rumah di empat desa serta juga menimbulkan korban jiwa. Air datang dari gunung. Tak ada pepohonan yang menahan laju air karena habis ditebang.

Bencana lalu memunculkan solidaritas sesama. Hingga saat ini bantuan Sembako dan kebutuhan lainnya terus mengalir baik ke Sambelia maupun Sembalun. Pos-pos penanganan penuh oleh bantuan. Jika manajemen penyalurannya bagus, bantuan akan bisa mengakomodir seluruh warga korban bencana ini. Hingga hari-hari kedepan bantuan akan terus mengalir dari banyak orang, dari banyak lembaga.

Secara khusus saya ingin kita yang bersimpati ini tidak hanya memikirkan soal kebutuhan fisik para korban. Jauh yang lebih mendesak juga adalah pemenuhan kebutuhan psikis, terutama anak-anak. Bencana ini membuat mereka trauma dan hilang keceriaan. Yang ini tentu tidak bisa ditangani oleh logistik berupa makanan.

Keceriaan anak-anak harus dipulihkan lagi. Mereka butuh penyemangat. Mereka butuh donasi berupa tenaga-tenaga terampil yang membuka kelas-kelas terapi singkat di lokasi bencana.

Kedua, karena mereka tinggal di daerah bencana. Tentu kesigapan dan kewaspadaan adalah hal utama bila sewaktu-waktu bencana datang lagi. Dalam simulasi penanganan dini korban bencana, anak-anak harus dilibatkan secara penuh. Mereka juga adalah objek penyelamatan utama. Ini penting sebab merekalah generasi bangsa kita. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline