Lihat ke Halaman Asli

Suara Hati Calon Pasien di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebagai masyarakat yang pernah menjadi pasien, dan tidak menutup kemungkinan menjadi pasien di masa yang akan datang maka saya sungguh keberatan dengan keputusan MA atas kasus dokter Ayu, dan 2 dokter lain yang dinyatakan bersalah karena tidak memberikan informed consent akan kasus emergensi yang dialami pasien alm. Julia Fransiska Makatey dan juga tidak adanya Surat Izin Praktek (SIP) yang dimiliki oleh dokter-dokter tersebut.

Saya tidak ingin, ketika saya mendapat kecelakaan dan tidak sadar diri, sekarang para dokter harus menunggu keluarga saya untuk memberikan persetujuan tindakan, dimana setiap detik yang dilewati tanpa pertolongan akan semakin membahayakan nyawa saya.

Saya tidak ingin, ketika saya mendapat kecelakaan di jalan raya, sekarang para dokter yang kebetulan ada di sekitar tempat kejadian tidak dapat menolong saya karena tidak memiliki Surat Izin Praktek di jalan raya.

Saya tidak ingin, ketika saya masuk ke dalam IGD dalam keadaan menahan sakit yang luar biasa dan mengalami perdarahan hebat, sekarang para dokter harus menjelaskan panjang lebar mengenai risiko medis akan segala tindakan yang mereka lakukan. Saya hanya ingin rasa sakit ini hilang dan segera sembuh, itu saja.

Saya tidak ingin ketika saya berada di pedalaman daerah Indonesia , dimana fasilitas kesehatan luar biasa minim, dan saya mengalami luka infeksi yang cukup serius, dan saya diputuskan harus dirujuk ke pusat kota yang berjarak 48 jam perjalanan darat dengan medan yang berat menuju RS yang memiliki fasilitas memadai karena dokter yang berada di tempat kejadian tidak dapat menolong saya disebabkan tidak dapat menggunakan alat kesehatan seadanya dan semampunya dalam kurun waktu dipindahkannya saya menuju RS di kota karena terbentur permasalahan standard pelayanan medis yang salah seorang ahli LSM kesehatan menyatakan bahwa harus terdapat Standar Pelayanan Medik (SPM) yang universal di seluruh Indonesia, tidak peduli bagaimana situasi dan dimana kondisi daerah tersebut. Apa saya harus menyalahkan dokter di tempat tersebut karena tidak lengkapnya alat kesehatan di daerah terpencil, dimana setahu saya persediaan alat kesehatan merupakan tanggung jawab dinas kesehatan daerah tersebut. Apa saya harus menyalahkan dokter di tempat tersebut mengenai jarak tempuh dari daerah ke kota dengan medan luar biasa tersebut untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang mumpuni? Karena setahu saya akses dari suatu tempat ke tempat lain dalam suatu daerah merupakan tanggung jawab dinas perhubungan daerah tersebut. Apa saya harus protes ke dokter tersebut karena tiadanya listrik dan sinyal telepon di daerah tersebut untuk meminta bala bantuan via udara agar proses pemindahan berlangsung lebih cepat? Karena setahu saya kepala daerah lah yang wajib menyediakan sarana dan prasarana untuk daerah yang diayominya. Memang sungguh tidak mudah menyamakan standard pelayanan medik di seluruh Indonesia, terutama kita harus mempertimbangkan bagaimana bervariasinya kondisi politik daerah tersebut. Oleh karena itu saya setuju bahwa SPM ini harus bersifat local tergantung situasi kondisi daerah, seperti yang dikatakan oleh ketua POGI dalam suatu talkshow di salah satu tv swasta.

Karena sesungguhnya, terlepas dari profesi dokter atau bukan, semua manusia selalu ingin menolong orang yang sedang kesusahan semampu mereka. Kadang kita sebagai masyarakat yang menuntut tidak menempatkan diri kita dari sudut pandang sang korban, dimana pertolongan sesegera mungkin dari siapa saja akan meringankan penderitaan kita. Sekarang mari kita bayangkan diri kita menjadi pasien-pasien kasus di atas, apa yang akan kita minta pertama kali saat tertimpa musibah tersebut baik dalam keadaan sadar maupun tidak sadar? Kalau saya “Siapapun, cepat tolong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline