Lihat ke Halaman Asli

Moderasi Beragama Mewujudkan ASN BerAKHLAK

Diperbarui: 5 Oktober 2022   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Moderasi Beragama?

Apa sih sebenarnya moderasi beragama? Kayanya pernah dengar istilah tersebut belakangan ini. Apakah itu maksudnya beragama di zaman modern? Atau ada maksud lainnya? Mungkin kalian pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Mungkin juga tidak. Mungkin tahu dan memilih abai, tidak perduli, atau apapun alasannya. Yang pasti, istilah moderasi beragama pernah mengemuka dan happening beberapa waktu yang lalu.

Lantas, mengapa moderasi beragama ditanyakan? Apa urgensinya sampai harus dibahas disini? Apa hubungannya dengan profesi ASN? Semua pertanyaan di atas akan coba dijawab melalui artikel ini, dimana saya akan memberikan penjelasan mengenai moderasi beragama. Lebih jauh, artikel ini akan mengeksplor hubungan antara hal tersebut dengan core values atau nilai dasar ASN yaitu BerAKHLAK. Terakhir, tulisan ini akan menjabarkan bagaimana seorang ASN bisa memiliki nilai-nilai dasar BerAKHLAK dengan memahami ajaran agama secara moderat.

Pemahaman Moderasi Beragama

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan, penghindaran keekstreman. Dari penjelasan tersebut, sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa istilah moderasi beragama mulai viral setelah munculnya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama diseluruh dunia. Aksi-aksi tersebut kemudian diketahui berawal dari pemahaman agama yang sifatnya ekstrem, yang membuat penganutnya bersedia melakukan apapun untuk kepentingan agamanya. Keberadaan pemahaman agama yang ekstrem tersebut pada akhirnya mendorong pengajaran agama yang lebih dimoderasi alias dikurangi muatan pengajaran yang terkait dengan kondisi keekstremannya.

Al-Quran sendiri sebenarnya telah menjelaskan tentang moderasi beragama. Allah SWT menyampaikan dalam Surat Al-Baqarah ayat 143 yang artinya:

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan* agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia." (QS. 2:143)

*   Umat pertengahan (ummatan wasatan) berarti umat pilihan, terbaik, adil, dan seimbang baik dalam keyakinan, pikiran, sikap maupun perilaku.

Kata "wasathan -- pertengahan" bisa diartikan sebagai tidak termasuk ke dalam umat yang berlebih-lebihan (ekstrem) dalam beragama, dan tidak masuk pula ke dalam golongan yang kurang memahami agamanya (liberal/bebas berpandangan). Hal ini turut sejalan dengan hadist Nabi "sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah." (HR. Al-Baihaqi).

Dalam kehidupan berbangsa, ummatan wasathan yang menjadi dasar moderasi beragama ini terkait erat dengan konsesus ideologi bernegara yang diusung oleh para founding father bangsa ini. Pada saat itu, ideologi negara yang dipilih adalah Pancasila, bukannya negara agama ataupun negara sekuler, tapi negara yang membebaskan warganya untuk memeluk satu agama dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing dalam balutan multikulturalisme yang kental.

Sejak zaman dulu, pengajaran agama Islam dilakukan dengan cara damai bukan kekerasan. Dakwah yang dilakukan, misalnya oleh Wali Songo menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan yang mengutamakan kearifan lokal atau lokalitas yang sejalan dengan ajaran Islam selalu dikedepankan. Para wali sering bermusyawarah untuk membicarakan masalah umat dan cara-cara berdakwah yang baik. Namun, disana juga tetap dikedepankan moderasi beragama. Kearifan atau budaya lokal yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat digunakan atau dilakukan. Sebaliknya yang bertentangan maka tidak bisa dipakai untuk berdakwah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline