Lihat ke Halaman Asli

Merubah -Ah- Indonesia

Diperbarui: 14 Desember 2016   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin menjelang siang dan hari-hari siang sebelumnya, saya sedang asik mendengarkan lagu yang terus mengiang-ngiang yang dialunkan oleh Ebiet Ghoffar Ade, ada satu lagu yang mempunyai lirik-lirik yang terkesan sederhana namun mempunyai makna yang dalam saat ini dan terhadap sosok ini. Saya tidak membela agama ataupun muasalnya, saya rindu akan sosok pelayan negeri untuk memperbaiki carut marutnya pemerintahan kita. Sebelum Dzuhur mengumandang saya kembali mendengar lirik sederhana ini sambil terus menyaksikan streaming dari daerah Gajah Mada.

Dari pintu ke pintu, Kucoba tawarkan nama. Demi terhenti tangis anakku, Dan keluh ibunya.

Basuki Thajaja Purnama, itulah nama yang coba ditawarkan untuk menunjukkan kalau masih ada pelayan publik yang mempunyai niat dan berbenah untuk memperbaiki sistem yang carut marut karena terbiasa menerima upah dan upeti dari jaman kolonial dahulu, sayangnya nama tersebut tidak terlalu istimewa, yang istimewa adalah kolom agama dan juga asal muasal nenek moyangnya. Nistalah nama tersebut karena kolom agama dan juga asal muasalnya, dan untuk menghentikan tangis anak-anaknya dia berani berucap “tidak masalah tersangka, yang penting bukan kasus korupsi” begitulah kira-kira ucapannya untuk meredakan tangis anak-anaknya.

Saya juga heran sampai ada yang membandingkan tagline tersangka antara pria ini dengan pria/ibu sebelumnya yang notabene nya mengerti bahwa Islam melarang hal yang merugikan umatnya sendiri, apakah korupsi yang dilakukan bukan hal yang dilarang dalam Al-Qur’an, saya hanya mengambil kutipan di surat Al-Baqarah : 188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil,”.  Atau kutipan di surat An-Nissa : 29 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta  sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” .

Bukankah itu jelas, seharusnya kalau kita bilang membela agama kita, coba deh dalam perilaku sehari-hari adakah yang tidak melebihkan jumlah tagihan kepada perusahaan/orang, dan perusahaan/orang tersebut tidak tahu. Kalau memang ia menistakan Al-Qur’an dalam ucapannya logikanya wajar karena dia bukan dari umat Islam jadi dia tidak tahu, dan dalam kehidupan sehari-hari apakah kita tidak pernah mengumpat ataupun berucap yang buruk ke seseorang, lalu ketika ucapan itu di jadikan delik aduan apakah kita bersalah padahal baru sekedar ucapan dan sebagai muslim saya tahu, saat ada niat jahat, apakah Malaikat Atid sudah mencatatnya dalam buku dosa kita?? lalu kenapa kita yang sekedar manusia sudah berani melangkahi ciptaan Allah yang terkenal dengan ke-khusyuk-an ibadahnya??

Harusnya kita lebih mengarahkan dan bukan menjarah “kebebasannya” untuk bekerja. Dan apa kabarnya pria/wanita yang mengaku Islam tetapi tetap memakan yang bukan haknya??

Mungkin alm. Misribu Andi Baso Amier binti Acca sedang berkeluh kesah ketika ia melihat anaknya berani untuk maju ke medan yang akan membunuh anaknya tersebut, bukan dengan racun, bom, peluru ataupun belati, tetapi di bunuh dengan kolom agama dan juga asal muasalnya. “harus jadi pejabat yang benar, jujur ke publik dan membawa kabar baik supaya anak-anak selalu dikuatkan. Pejabat yang amanah.” itulah pesan alm. sesaat pria keturunan Tionghoa ini menjadi Gubernur dan sesaat sebelum alm. menutup mata untuk selama-lamanya.

Tetapi nampaknya semua mata, Memandangku curiga. Seakan hendak telanjangi, Dan kulit jiwaku.

Ya, bangsa ini sudah dari jaman kolonial dibentuk dengan kecurigaan atau lebih tepatnya waspada yang keblablasan, saya pun begitu, takut dengan ekspansi warga Tionghoa dan warga negara lainnya ketika MEA akan berlangsung, lalu kita hanya diam saja gitu tidak memperkaya diri dengan ilmu-ilmu agar kita tidak tergerus dengan mereka yang akan datang 2-4 tahun mendatang??

Apakah buku diri ini selalu hitam pekat, Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan, Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum, Dengan sorot mata yang lebih tajam dari matahari.

Buku yang di pegangnya kemarin siang, sempat saya baca sekilas melalui fasilitas e-book 2010 lalu, dan saat buku itu kembali dibawanya saya kembali mengais-ngais folder saya untuk mecari e-book buku tersebut. Buku yang sudah menjadi antipati bagi sebagian yang menghardik dirinya karena berkolom agama yang berbeda dan ~takut dengan~ asal muasal nenek moyangnya. Salah satu kalimat yang saya suka di buku tersebut ketika Ia di “sabotase” untuk menduduki pejabat pemerintahan, “saya tidak mendapat hidayah Allah, tetapi saya mendapat anugerah Allah menjadi beriman Kristen, jadi jelas bahwa saya bukanlah seorang yang kafir ”. Bagi orang yang tidak sefaham dengan pria ini maka tulisannya adalah penistaan, sudah hitam, begitupun dengan kenalan-kenalannya di sosial media, hitam dan nista.

Ya, dalam sejarah negeri ini, pahlawan adalah seseorang yang harus di puja setinggi-tinggi dewa Ra dan Horus, mungkin. Padahal untuk mendukung pahlawannya tersebut tidak perlu merendahkan persepsi orang lain, apakah maknanya akan terlihat berbeda saat kita sudah menyelipkan caci makian terhadap orang lain yang tidak seirama dengan kita??

Saat pria ini bersuara parau dan terbata-bata saja kita yang sebagai Muslim masih terus membuat, membagikan dan menyebarkan hal-hal yang menurut saya tidak pernah di ajarkan sama guru-guru ngaji kita saat Madrasah dan Aliyah ketika kecil dahulu. Air mata buaya, tangisan palsu, dan lain-lainnya serta membandingkan dengan hal yang sudah pria ini lakukan dan membuat tangisan ibu-ibu yang di gusur karena menempati tanah negara atau trotoar jalan. Benarkah Islam untuk mempunyai sifat pendendam, mungkin saya akan coba mengingatkan tentang sebuah buku yang sudah lama saya baca “Perang Muhammad : Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah saw”,  saya coba mengingatkan tentang kisah Shafwan bin Umayyah musuh paling menghina Rasul, fitnah dan juga menyakiti umat Islam ketika itu. Lalu apakah Shafwan bin Umayyah di adili dan di bunuh karena dia musyrik, kafir dan sebutan-sebutan lainnya? Bahkan akhirnya Shafwan bin Ummayah memeluk Islam.

Kemanakah sirnanya, Nurani embun pagi. Yang biasanya ramah, Kini membakar hati.

Saya juga heran, kemana ajaran di Al-Qur’an dan Haddist tentang saling memaafkan dan tidak menjelek-jelekkan sesama manusia??

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline