Orang yang berada pada posisi teraniaya entah oleh suatu dan lain hal biasanya memunculkan simpati bagi banyak orang. Dan simpati itu bisa berupa dukungan baik moril maupun materiil.
Demikian juga dalam dunia politik, kadang beberapa aktor didalamnya juga pernah memainkannya. Bisa karena memang dengan penuh kesadaran dimainkan atau karena kondisi yang memaksanya menjadi orang atau bahkan partai politik yang teraniaya.
Dalam politik tentu kegiatan seperti ini sah-sah saja sepanjang itu natural atau tidak dibuat-buat. Tentu masih segar diingatan kita bagaimana seorang tokoh aktivis perempuan yang mengaku menjadi korban kekerasan dari lawan politiknya ternyata hanya operasi plastik semata. Dan permainan politik seperti ini sungguh menjadikan beberapa tokoh politik seperti mendapatkan amunisi untuk memainkan playing victim atas insiden yang menimpa pendukungnya.
Masyarakat kita saat ini sungguh semakin cerdas, apalagi di era keterbukaan arus informasi sehingga sangat jelas mana yang playing victim asli atau berdasarkan skenario pembuatnya ( by design ). Tentu untuk mencari sumber informasi mengenai hal tersebut sangatlah mudah dan tidak dapat ditutup-tutupi. Bisa jadi hasilnya justru akan mempermalukan dirinya sendiri bahkan institusi pendukungnya.
Di era orde baru sebenarnya juga banyak yang menjadi obyek teraniaya, tetapi karena media masssa belum seterbuka sekarang maka simpati kepada korban penindasan penguasa seperti menguap tanpa sempat menjadi viral. Dan kalaupun itu terjadi maka butuh proses lama untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Megawati bisa mewakili korban penindasan orde baru yang kemunculannya mendapat simpati dari masyarakat banyak setelah berjuang lama di era orde baru. Tidak bisa instant apalagi harus berpura-pura menjadi korban. Semua berjalan natural dan seiring perjalanan waktu semua akan mendapat efek yang cukup besar untuk mendapat simpati masyarakat. Dan beliau tidak dalam kapasitas memainkan playing victim namun menjadi korban yang sesungguhnya dari penguasa orde baru.
Jadi memainkan peran sebagai korban sepertinya di era sekarang butuh pemikiran yang panjang dan detail. Karena masyarakat sekarang cenderung tidak mudah bersimpati sebelum membuktikan kebenarannya. Dan penindasan kepada lawan politik dengan fitnah dan kebohongan jangan sampai dimainkan oleh penguasa, karena dengan mudah si korban penindasan akan memainkan peran playing victimnya.
Maka setiap gerak politik harus diukur dan ditata secara presisi agar tujuan politiknya bisa terwujud. Memainkan playing victim tidaklah elok di era demokrasi tetapi juga menindas lawan politik juga bisa menjadi senjata makan tuan. Yang harusnya dilakukan adalah ide gagasan dan program bukan bermain di luar ranah politik yang sesungguhnya.
Adu gagasan dan program kiranya dapat semakin mendewasakan peran politik partai politik dan aktor politik di negara kita. Miris kalau melihat bahwa politik fitnah dan adu domba banyak sekali bermunculan di postingan media sosial akhir-akhir ini. Ada yang mengaku menjadi korban sehingga bernafsu untuk memainkan perannya untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Sepertinya playing victim tidak akan bernilai jual lagi selama masyarakat kita cerdas dalam berpolitik. Yang sedang berkuasa juga jangan berjumawa kepada lawan politiknya, yang sedang tidak berkuasa juga jangan menempatkan dirinya sebagai korban penguasa, sehingga demokrasi akan berjalan dengan sehat. Dan kompetisi Pilpres 2024 sebagai ajang kompetisi yang sehat dan elegan. Stop playing victim......Salam Sehat !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H